Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Bulan November yang baru saja berakhir menandai terhentinya reli pembelian surat utang negara (SBN) oleh pemodal asing yang telah berlangsung sejak Mei lalu.

Mengacu data Kementerian Keuangan RI, pada November, kepemilikan asing di surat utang yang diterbitkan pemerintah telah longsor Rp12,76 triliun, menjadi tinggal Rp872,8 triliun. 

Net sell asing di SBN pada November menghentikan reli pembelian oleh para pemodal nonresiden yang telah berlangsung selama Mei-Oktober, rekor pembelian terpanjang sejak 2017 silam.

Bukan cuma di pasar SBN, asing juga terus angkat kaki dari bursa saham domestik. Selama November, asing membukukan net sell di pasar saham Indonesia senilai US$1,06 miliar, menurut data yang dikompilasi oleh Bloomberg. Angka itu setara dengan Rp16,9 triliun.

Bukan cuma itu, di instrumen penarik dana asing jangka pendek (hot money), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), asing juga terlihat mengurangi posisi. Laporan Bank Indonesia terakhir, berdasarkan data transaksi 25-28 November 2024, asing membukukan posisi net sell di SRBI senilai Rp1,66 triliun.

Itu menjadi posisi net sell tiga periode beruntun di tengah tingkat bunga SRBI yang terus dikerek naik sampai terakhir kini ada di 7,20% untuk tenor terpanjang.

Sementara sampai data 18 November, kepemilikan asing di SRBI sudah berkurang Rp4,39 triliun dibanding bulan sebelumnya hingga proporsi asing di instrumen tersebut menurun jadi 25,82% dari tadinya mencapai 27,23%.

Arus keluar modal asing itu tak ayal telah menjatuhkan nilai aset. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama November ambles 6%. Sementara yield SBN juga melesat di mana tenor pendek INDOGB-2Y naik 13 bps dalam satu bulan ke level 6,54%. Sedangkan tenor 10Y naik tipis 2,4 bps jadi 6,86% pada akhir bulan lalu.

Bunga diskonto SRBI bahkan telah menyentuh 7,20% dalam lelang terakhir November, tertinggi sejak pertengahan Agustus. Tidak heran bila nilai rupiah juga tergerus pada bulan lalu dengan pelemahan hampir 1%.

Minat asing yang pudar di aset-aset pasar keuangan domestik terutama karena perubahan geopolitik dengan episentrumnya kini ada di Amerika Serikat.

Keterpilihan Donald Trump menjadi Presiden AS dengan membawa sejumlah rencana kebijakan kenaikan tarif impor serta pembatasan imigran, dinilai akan melejitkan lagi inflasi di negeri tersebut.

Kekhawatiran akan Perang Dagang Jilid II, setelah sempat pecah pada era Trump pertama kali menguasai Gedung Putih pada 2017-2021 silam, mengecilkan pamor aset emerging market.

Tingkat inflasi yang diperkirakan kembali naik, bisa memperlambat laju penurunan bunga acuan global sehingga mengerek tingkat imbal hasil investasi AS di tengah lonjakan dolar yang diburu sebagai safe haven. Dana global pun diperkirakan akan tersedot lagi ke negeri dengan ukuran ekonomi terbesar itu, meninggalkan pasar emerging market dalam ancaman kekeringan.

Apa yang terjadi di pasar pada November seolah menjadi gambaran awal pada apa yang berlangsung empat tahun ke depan ketika Trump resmi menghuni Gedung Putih. Beberapa pekan ini saja berulang kali Trump memicu volatilitas pasar akibat pernyataan-pernyataannya terkait kebijakan tarif impor ke depan.

Yang terakhir yakni pada akhir pekan lalu, kebijakan tarif Trump bukan hanya mengancam China atau negeri jirannya yakni Meksiko dan Kanada. Ancaman tarif Trump telah meluas juga pada negara-negara BRICS, yaitu Brazil, Rusia, India, China juga Afrika Selatan. Ia mengancam akan memberlakukan tarif impor 100% pada negara-negara besar itu bila melanjutkan upaya dedolarisasi mereka.

(rui/aji)

No more pages