“Jadi sekali lagi, seperti apa yang tercantum di teks yang di joint statement itu, bahwa kerjasama ini akan dilakukan dan akan dibentuk satu komite bersama untuk membahas detailnya,” ucap Sugiono.
Adapun, pernyataan bersama Presiden Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping tersebut mendapatkan kritik dari berbagai ahli. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mempertanyakan klaim tumpang-tindih yang berada dalam pernyataan bersama tersebut.
"Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus oleh China yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna Utara?" ujar Hikmahanto dalam rilisnya kepada awak media, Senin (11/10/2024).
Bila memang benar, lanjutnya, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental, serta akan berdampak pada geopolitik di kawasan.
Hingga akhir pemerintahan Jokowi, Indonesia tidak mengakui klaim sepihak Sepuluh (dahulu Sembilan) Garis Putus dari China. Hal ini karena klaim tersebut tidak sesuai dengan konferensi PBB soal hukum laut internasional atau UNCLOS, di mana Indonesia dan China merupakan negara peserta.
Terlebih, Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag pada tahun 2016 telah menegaskan klaim sepihak China tersebut tidak diakui UNCLOS.
"Namun, dengan adanya joint statement 9 November lalu, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus," ungkap Hikmahanto.
Hikmahanto menilai joint development hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling tumpang tindih.
(azr/frg)