Tekanan yang membatasi penguatan mata uang Asia sepertinya akan berlanjut apabila sentimen risk-off menyala akibat pernyataan-pernyataan Trump yang potensial memanaskan lagi perang dagang jilid II yang potensial meluas cakupannya.
Pasalnya kali ini, ancaman kebijakan tarif Trump bukan hanya mengancam China atau negeri jirannya yakni Meksiko dan Kanada. Yang terakhir kini adalah ancaman Trump pada negara-negara BRICS, yaitu Brazil, Rusia, India, China juga Afrika Selatan.
Pada November lalu, rupiah melemah 0,94%, setelah bulan sebelumnya bahkan amblas hingga 3,68%. Alhasil, dua bulan beruntun, rupiah keok melawan dolar AS.
Pelemahan pada bulan lalu tak lain adalah karena sentimen Trump yang mengubah secara cepat sentimen di pasar sekaligus prospek mata uang ke depan.
Bulan lalu, semua mata uang emerging market Asia juga tergerus lemah gara-gara faktor utama yang sama yakni perubahan politik di AS. Pelemahan rupiah termasuk ringan dibandingkan mata uang Asia lain seperti baht yang anjlok hingga 1,64%, lalu ringgit 1,56% ataupun won Korsel yang turun 1,45%.
Arus modal asing
Keterpilihan Trump dinilai akan memperlambat laju penurunan global menyusul kebijakan tarif impor serta pembatasan imigran di negeri itu diperkirakan akan memantik lagi inflasi yang tinggi.
Hal itulah yang terutama mengubah lanskap bagi aset-aset emerging market termasuk di Indonesia.
Pelemahan rupiah terseret oleh arus keluar modal asing akibat langkah para pengelola dana global kembali menyerbu kelas aset di pasar negara maju. Imbal hasil investasi yang meningkat di negara maju membuat aset pasar negara berkembang jadi kurang menarik.
Ditambah ada risiko pelemahan mata uang lokal, aset-aset di negara berkembang semakin tidak menarik dikoleksi.
Itulah yang menjadi pangkal dari pelemahan rupiah belakangan. Arus keluar modal asing terutama dari pasar saham seakan tak terbendung.
Selama November, asing membukukan net sell senilai US$1,06 miliar, menurut data yang dikompilasi oleh Bloomberg. Angka itu setara dengan Rp16,9 triliun.
Sementara di pasar surat utang, kepemilikan asing anjlok hingga Rp12,76 triliun selama November lalu, mematahkan reli kenaikan bulanan terpanjang yang terjadi sejak Mei hingga Oktober lalu.
Bukan cuma saham dan surat utang saja yang dilepas oleh asing, instrumen tenor pendek yaitu Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga makin ditinggalkan oleh asing.
Berdasarkan data terakhir yang dirilis BI pertengahan bulan lalu, porsi penguasaan asing di SRBI sudah berkurang sekitar Rp4 triliun yaitu tinggal 25% dari tadinya lebih dari 27% dari total outstanding SRBI di pasar sekunder.
Prospek Desember
Kini, mengawali bulan Desember, lagi-lagi rupiah tersandung Trump.
Bila menilik periode kekuasaan Trump pertama pada 2017-2021, selama itu kinerja dolar AS sebenarnya hampir selalu negatif setiap bulan Desember. Sebaliknya, rupiah membukukan kinerja menguat pada periode tersebut di bulan terakhir saban tahun. Terkecuali pada Desember 2016 atau bulan Desember pertama pasca kemenangan Trump di Pilpres 2016 silam.
Akankah bulan Desember 2024 juga akan memberikan cerita manis bagi rupiah? Menurut analisis Bahana Sekuritas, pemerintahan Trump sejatinya membutuhkan dolar AS yang lebih lemah.
"Dolar yang kuat bisa menggagalkan agenda industri Trump. Maka itu, hanya soal waktu sebelum calon Menteri Keuangan [saat ini sudah ditunjuk] mengambil tindakan terhadap permasalahan indeks dolar AS yang kuat," kata Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas dalam catatan yang dilansir sebelum penunjukan Scott Bessent sebagai Menkeu oleh Trump.
Ketika Trump pertama menang Pemilu 2016, gerak dolar AS juga mirip dengan saat ini di mana the greenback melonjak kuat di awal yakni selama November-Desember 2016, namun kemudian ia akan melemah. "Setelah Trump dilantik pada Januari 2017, dolar melemah selama enam bulan beruntun yaitu sejak Maret-Agustus 2017," kata Satria.
Bila catatan itu berulang, maka pelemahan rupiah pada Desember sepertinya akan terjadi dan peluang penguatan mata uang Indonesia mungkin baru terbuka pada tahun depan.
Dalam Banker's Dinner pada Jumat pekan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo, mengatakan, strong dolar AS menjadi salah satu faktor yang akan mempengaruhi prospek ekonomi 2025 dan 2026 yang cenderung redup.
"Prospek ekonomi global akan meredup pada 2025 dan 2026. Ketidakpastian semakin tinggi dengan lima karakteristik, yakni slower and divergent growth, reemergence inflation pressure, lalu higher US interest rate, strong dollar dan Invest in America," kata Perry.
Pada penutupan pasar Asia di Senin pertama bulan Desember ini, indeks dolar AS ditutup menguat 106,4 sementara yield Treasury di semua tenor merangkak naik. UST-10Y ada di 4,19% atau naik 3,1 bps. Sementara tenor pendek 2Y ada di 4,18%, naik 3,5 bps.
(rui)