Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menilai desakan moratorium smelter nikel berbasis rotary kiln-electric furnace (RKEF) tidak urgen untuk dieksekusi, meski pengusaha telah mengeluhkan sumber daya nikel saprolit makin menipis.

Hasyim Daeng Barang, Direktur Hilirisasi Mineral dan Batu Bara Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, mengatakan saat ini pemerintah—di tataran lintas kementerian teknis — masih membahas urgensi moratorium smelter nikel berbasis RKEF.

Pemerintah tengah menghitung berapa total smelter penghasil bahan baku baja nirkarat atau stainless steel tersebut di Indonesia, berikut kapasitas produksi serta permintaannya.

“Akan tetapi, tidak mendesak juga sebenarnya [moratorium smelter RKEF]. Tanpa moratorium juga kan pasti orang [investor] sudah tidak ke arah situ, karena sudah banyak smelter-nya. Smelter RKEF itu sudah banyak,” ujarnya ditemui di kantor CSIS, akhir pekan lalu.

Smelter nikel./Bloomberg- Cole Burston

Menurutnya, pemerintah juga tidak bisa memaksakan penyetopan investasi smelter nikel RKEF. Meski demikian, dia meyakini investasi smelter RKEF akan melambat dengan sendirinya jika produksi olahan saprolit dari Indonesia sudah terlalu membanjiri pasar.

Sekadar catatan, smelter nikel pirometalurgi dengan teknologi RKEF mengolah bijih nikel kadar tinggi atau saprolit untuk menjadi ferronikel sebagai bahan baku baja nirkarat.

Jenis smelter nikel lainnya adalah hidrometalurgi dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) yang mengolah bijih nikel kadar rendah atau limonit menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.

Oversupply Smelter

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya melaporkan Indonesia bakal memiliki 190 pabrik pemurnian atau smelter nikel, meskipun belum menjelaskan kapan semua fasilitas tersebut bakal beroperasi.

Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengatakan 190 smelter nikel itu terdiri dari 54 smelter yang sudah beroperasi, 120 smelter yang sedang tahap konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan.

Dari 190 smelter tersebut, Julian mengatakan hanya 8 atau 9 smelter yang memiliki teknologi berbasis HPAL dan sisanya berbasis RKEF.

“Sebanyak 190 itu total 54 yang sudah beroperasi, 120 yang sedang konstruksi, 16 dalam tahap perencanaan, itu berdasarkan data BKPM,” ujar Julian saat ditemui di Jakarta Barat, akhir Oktober.

Julian mengatakan kebutuhan bijih nikel berada pada level 200.000 ton untuk 54 smelter yang saat ini beroperasi. Sementara itu, cadangan nikel Indonesia saat ini 5,3 miliar ton.

Dengan asumsi 190 smelter bakal beroperasi dan kebutuhan bijih nikel bakal meningkat 3 kali lipat, maka Kementerian ESDM memproyeksikan industri nikel bakal selesai 4—5 tahun ke depan bila tidak ada tambahan cadangan.

“Bisa bayangkan kalau nanti seumpama 190 smelter beroperasi, berarti habis nikel kita. Cadangan kita saat ini yang terdata 5,3 miliar ton, kalau pada 2023 kebutuhan [bijih nikel] adalah 200.000 ton, kemudian kita naikkan tiga kali lipat, maka kemungkinan industri kita akan selesai 4—5 tahun ke depan,” ujarnya.

Dari sisi pengusaha, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) juga sudah meminta pemerintah untuk tidak pernah kembali membuka kesempatan dalam menambah smelter pirometalurgi, menyusul cadangan yang makin menipis.

Menurut Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey, jumlah smelter RKEF yang beroperasi di Indonesia saat ini berjumlah 49 smelter dan membutuhkan bijih nikel kadar tinggi (saprolit) sebesar 240,1 juta ton.

“Nah, itu [bijih saprolit tambahan] mau cari di mana? Jadi kekhawatiran kami sejak 2 tahun lalu itu karena konsumsi bijih nikel yang luar biasa. Sampai ada yang impor dari Filipina. Kekhawatiran kami adalah cadangan,” ujar Meidy kepada Bloomberg Technoz.

Dengan demikian, APNI mendorong pemerintah untuk mengundang lebih banyak perusahaan untuk berinvestasi pada smelter HPAL. Saat ini, kata Meidy, baru terdapat 5 smelter HPAL yang beroperasi di Indonesia dengan kebutuhan bijih limonit sebanyak 48,2 juta ton. 

(wdh)

No more pages