Logo Bloomberg Technoz

Sampai akhir 2022, realisasi program tersebut menyentuh Rp 1.631,15 triliun. Program tersebut diluncurkan dalam berbagai bentuk bantuan sosial dan subsidi juga insentif di beberapa klaster mulai kesehatan, bantuan sosial, UKM dan lain sebagainya. 

Negara-negara lain juga berlomba menggelontorkan subsidi bantuan sosial untuk menjaga perekonomian dari tekanan akibat pandemi dan efek lanjutannya. Amerika Serikat (AS) meluncurkan American Rescue Plan, program stimulus dengan nilai terbesar yang pernah diluncurkan oleh pemerintah senilai US$ 1,9 triliun. Sedangkan Eropa meluncurkan paket program pemulihan ekonomi merespon pandemi dengan anggaran mencapai € 806.9 miliar.

Dalam riset yang ditulis oleh Marina Andrade, International Policy Centre for Inclusive Growth (IPC-I), seperti dikutip di socialprotection.org pada Selasa (24/1/2023), tercatat sebanyak 72% atau sekitar 94 dari 130  negara di belahan bumi selatan mengadopsi kebijakan subsidi untuk merespon dampak pandemi dan efek lanjutannya. 

Subsidi menjadi obat yang rasional ketika perekonomian tengah menderita diterpa hantaman wabah terburuk dalam 100 tahun terakhir. Akan tetapi, pembengkakan pengeluaran pemerintah untuk menangani dampak panjang pandemi itu, harus dibayar juga dengan meningkatnya utang negara. Maklum, pandemi juga membuat mampet keran-keran pendapatan yang menjadi sumber belanja negara. 

Indonesia, sebagai contoh, mencatat penerimaan negara dari pajak pada 2020 menurun hampir 20%. Penurunan pendapatan negara dari pajak tentu tidak bisa dilepaskan dari aktivitas perekonomian yang terhenti akibat pandemi. 

Ketidakimbangan antara pendapatan dengan belanja yang membengkak itu, tak urung mendorong pemerintah menambah utang. Sepanjang 2020, realisasi pembiayaan utang menembus Rp 1.226,8 triliun, naik 180,4% dibandingkan tahun 2019. Negara butuh duit lebih banyak untuk menanggulangi dampak pandemi dan mempertahankan perekonomian. 

Kendati performa penerimaan negara berturut-turut pada 2021 dan 2022 kembali membaik dengan pertumbuhan masing-masing 21,6% dan 30,6%, itu tidak menghentikan langkah pemerintah menambah utang. Sampai posisi terakhir per November 2022, total utang pemerintah Indonesia tercatat sebesar Rp 7.733,99 triliun. Angka itu setara dengan 39,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

Pada 2020, angka realisasi utang pemerintah mencapai Rp 1.226,8 triliun. Meningkat signifikan dibandingkan 2019, dengan kenaikan mencapai 180% dari posisi Rp 437,5 triliun. Setelah itu, alokasi pembiayaan utang anggaran tidak pernah lagi kembali ke kisaran sebelum pandemi. Pada 2021, realisasi utang mencapai Rp 867,4 triliun dan pada 2022 sebesar Rp 688,5 triliun. 

Pembengkakan pengeluaran negara demi menanggulangi dampak pandemi sudah memicu kenaikan utang. Walau sekilas ada tren penurunan seiring menurunnya pula anggaran penanganan Covid-19, tapi bila dilihat lagi proporsi utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus melonjak. Sampai akhir 2022, total utang pemerintah Indonesia menembus Rp 7.733,99 triliun, setara dengan 39,57% dari PDB. Sebelum pandemi, angkanya baru sebesar 30,2%. Mengacu pada batas aman rasio utang terhadap PDB menurut International Monetary Fund (IMF), posisi rasio utang terhadap PDB 2022 itu sudah melampaui batas aman di kisaran 25%-35%.

Tren Utang Global

Apa yang terjadi di Indonesia menjadi pola umum yang juga terjadi di banyak negara. Pengeluaran negara melonjak tinggi akibat Covid-19, terutama yang dikucurkan dalam bentuk subsidi dan bansos, pada akhirnya melejitkan beban utang global secara keseluruhan. Ditambah lagi terjadinya krisis politik di Ukraina yang memicu krisis energi global, memperburuk inflasi yang lebih dulu terbang dan menyulut tren bunga tinggi. Yang paling terkena dampak dari situasi tidak menguntungkan ini adalah negara-negara miskin dan berpendapatan menengah. Pemasukan minim hingga utang menjadi jalan keluar.

Dalam laporan International Debt Report 2022, Bank Dunia menyoroti risiko utang yang meningkat di kelompok negara miskin hingga negara berpendapatan menengah. Pada 2021, Utang Luar Negeri (ULN) negara kelompok ini menembus US$ 9 triliun, naik lebih dari dua kali lipat hanya dalam 10 tahun. 

Negara-negara seperti Srilanka, Zambia, dam Ghana, menghadapi situasi yang mengenaskan bahkan berisiko menjadi negara gagal akibat jeratan utang luar biasa.

Bukan 100% Salah Pandemi

Pandemi menjadi salah satu faktor pemicu terbesar yang melontarkan mayoritas negara dalam gunungan utang. Namun, menurut analisis Bank Dunia yang dipublikasikan Juni 2022 lalu, bila sampai terjadi krisis utang dunia, sulit untuk menyebut pandemi sebagai satu-satunya faktor.

“Menjadi sebuah kesalahan untuk menyalahkan pandemi ketika krisis itu terjadi. Benih sudah ditabur jauh sebelum wabah terjadi,” tulis Marcello Estevao, Global Director, Macroeconomics, Trade & Investment World Bank dan Senior Economist World Bank Sebastian Essl.

Antara 2011-2019, utang publik di 65 negara berkembang rata-rata naik 18% dari PDB. Bahkan di kawasan Afrika, rasio utang meningkat rata-rata sebesar 27% dari PDB. “Apa yang mendorong akumulasi utang sebelum pandemi? Penyebabnya satu: kebijakan yang buruk,” tulis dua petinggi World Bank tersebut.

Kenaikan utang negara-negara tersebut tak lain karena penerapan kebijakan yang kurang berhati-hati di mana mereka membelanjakan uang melampaui kemampuan. Di Afrika, sebagai contoh, pemerintah di sana memakai utang bukan untuk invetasi jangka panjang yang produktif melainkan untuk membayar tagihan yang sudah ada dan membayar gaji pekerja sektor publik. 

Amankah Indonesia?

Mulai tahun ini, pemerintah resmi mengakhiri program PEN seiring menjinaknya pandemi di Indonesia. Dalam APBN 2023, kebutuhan pembiayaan utang diperkirakan mencapai Rp 696,3 triliun menjadikan defiist APBN 2023 sebesar 2,84%. Angka itu menurun dibandingkan 2020 sebesar 6,14% lalu 4,57% pada 2021. Defisit anggaran yang lebih kecil itu diyakini bisa memberi keamanan lebih baik bagi perekonomian Indonesia.

Di sisi lain, posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per November 2022 adalah US$ 392,6 miliar, setara Rp 5.958,49 triliun. Menurun 5,6% dibandingkan November 2021. Dengan begitu, rasio ULN terhadap PDB menurun ke kisaran 29,6% dari posisi Oktober sebesar 30,1%. Surat utang bertenor panjang mendominasi ULN dengan proporsi mencapai 87,1%.

Pada 2022, pembiayaan pembayaran utang luar negeri Indonesia sangat terbantu kinerja perdagangan internasional yang melonjak. Neraca perdagangan mencetak surplus hingga US$ 54,4 miliar sepanjang 2022, menjadi rekor tertinggi surplus sepanjang sejarah republik. Surplus ini terutama disokong oleh kenaikan harga komoditas terutama batu bara yang harganya terbang dipicu oleh krisis Ukraina.

Namun, untuk 2023 di mana perlambatan ekonomi global diprediksi semakin nyata, muncul risiko penurunan permintaan komoditas. Itu bisa menekan penerimaan devisa hasil ekspor. Dalam situasi seperti itu, akan lebih baik bila Indonesia tetap berhati-hati dengan menerapkan kebijakan yang prudent agar risiko pembayaran kewajiban utang tetap bisa terkelola baik.

(rui/aji)

No more pages