Logo Bloomberg Technoz

Hal itu mengindikasikan masih berlangsung fenomena 'makan tabungan' alias mantab di rumah tangga Tanah Air. "Data itu menunjukkan bahwa konsumen di Indonesia masih mengorbankan tabungannya untuk mempertahankan daya beli," kata Macro Strategist Mega Capital Lionel Priyadi dalam kajiannya, akhir pekan lalu.

Tingkat konsumsi sehari-hari juga masih berada dalam tren penurunan di mana pada Mei lalu sempat di 104,6, akan tetapi pada Oktober menyentuh level 95,0.

Kelesuan konsumsi masyarakat pada akhirnya telah menyeret kinerja penjualan ritel. Indeks Penjualan Riil pada Oktober jatuh ke level terendah dalam setahun terakhir yaitu di 209,5, setelah memuncak pada Lebaran lalu di angka 236,3, April lalu.

Secara tahunan, kinerja penjualan ritel pada Oktober hanya tumbuh 1%, juga terendah sejak April. Adapun secara bulanan, penjualan ritel bahkan beberapa kali membukukan kontraksi (tumbuh negatif) selama periode Mei-Oktober kecuali pada Juni yang tumbuh sedikit 0,4% dan Agustus 1,7%.

Indikator lain yang menegaskan terjadinya kelesuan konsumsi nasional adalah impor barang setengah jadi yang terus mencatat perlambatan dua bulan terakhir. Perlambatan trsebut kemungkinan disebabkan oleh lemahnya permintaan domestik, sebagaimana terlihat juga dari kontraksi PMI Manufaktur.

Kontraksi Manufaktur Berlanjut

Hari ini, S&P Global melaporkan data terbaru aktivitas manufaktur RI pada November.

Aktivitas manufaktur RI pada bulan lalu masih belum mampu beranjak dari zona kontraksi, dengan Purchasing Managers' Index (PMI) masih sebesar 49,6.

Angka ini sedikit lebih baik dibanding Oktober yang sebesar 49,2, akan tetapi masih di bawah 50 yang berarti terjadi kontraksi. Alhsil, PMI manufaktur Indonesia dalam lima bulan terakhir terpuruk di zona kontraksi.

"Perbaikan PMI manufaktur pada November disumbangkan oleh peningkatan produksi, pertama dalam 5 bulan terakhir. Produksi bertambah meski pemesanan baru (new orders) masih mengecewakan," sebut keterangan tertulis S&P Global.

Para responden survei tersebut masih melaporkan aktivitas pasar yang sepi, terlihat dari pelemahan daya beli. Adapun pemesanan barang ekspor juga kembali turun. Itu menjadi penurunan selama 9 bulan beruntun dan semakin dalam.

Peningkatan produksi di kala permintaan turun membuat lonjakan stok. Dunia usaha berharap stok itu bisa terbeli pada Desember, ketika momentum liburan Natal dan Tahun Baru mungkin mendorong belanja masyarakat.

Hal lain yang menjadi alarm buruk dari laporan S&P Global adalah rekrutmen tenaga kerja yang terus merosot dua bulan beruntun.

"Kontraksinya bahkan menjadi yang terdalam selama lebih dari 3 tahun terakhir. Perusahaan melaporkan pekerja yang keluar tidak digantikan, dan dalam beberapa kasus terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)," ungkap laporan S&P Global.

Paul Smith, Direktur S&P Global Market Interlligence, menyebut bahwa hasil PMI November bisa disebut mixed. Di satu sisi, ada peningkatan produksi. Namun di sisi lain, performa penjualan masih suram.

"Ini membuat dunia usaha masih berhati-hati dalam merekrut tenaga kerja, memilih untuk tidak menggantikan mereka yang keluar atau bahkan melakukan PHK," sebut Smith. 

Performa industri manufaktur ke depan, lanjut Smith, ditentukan oleh permintaan. Tanpa kenaikan permintaan, kinerja manufaktur yang lesu mungkin akan berlanjut.

(rui/aji)

No more pages