Logo Bloomberg Technoz

Sepekan lalu, rupiah berhasil membukukan penguatan mingguan 0,16% dan ditutup di level Rp15.845/US$. Kinerja mingguan rupiah mengalahkan ringgit yang menguat hanya 0,09%. Namun, rupiah kalah oleh capaian baht dan peso yang masing-masing membukukan penguatan 0,99% dan 0,61%.

Capaian rupiah terutama disokong oleh animo asing yang masih baik di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Namun, tekanan jual yang masih besar di pasar saham serta gelombang jual asing di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) membatasi penguatan rupiah.

Laporan Bank Indonesia, berdasarkan data transaksi 25-28 November 2024, pemodal asing di Indonesia tercatat jual neto sebesar Rp1,78 triliun di pasar keuangan RI. Terdiri atas jual neto sebesar Rp2,01 triliun di pasar saham, lalu beli neto sebesar Rp1,89 triliun di pasar SBN, dan jual neto sebesar Rp1,66 triliun di SRBI.

Ancaman Trump

Trump melalui akun media sosial Truth Social miliknya, pada Sabtu malam waktu setempat menulis ancaman pada negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan), terkait upaya kelompok tersebut mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dengan mewacanakan mata uang alternatif.

"Gagasan bahwa negara-negara BRICS berusaha meninggalkan dolar AS sementara kita berdiam diri dan hanya menontonnya, itu sudah BERAKHIR", demikian tulis Trump.

"Kami menuntut komitmen dari negara-negara tersebut bahwa mereka tidak akan menciptakan mata uang baru atau mendukung mata uang lain untuk menggantikan dolar AS atau mereka akan menghadapi tarif 100% dan harus mengucapkan selamat tinggal pada penjualan [barang] ke perekonomian AS yang luar biasa," tandas Trump.

Pernyataan dari orang yang baru saja terpilih menghuni Gedung Putih itu jelas saja membuat pasar bergolak. Indeks dolar AS yang pekan lalu membukukan kinerja terburuk sekian lama, pagi ini kembali menguat di 106,14. 

Pelaku pasar agaknya harus mulai terbiasa menghadapi dinamika seputar Trump yang dengan mudahnya memicu volatilitas pasar nan tajam. Data ekonomi masih dicermati terutama terkait arah kebijakan bunga global. Namun, pernyataan Trump selalu orang nomor satu di negara dengan ukuran ekonomi terbesar di dunia, akan berdampak luas pada perdagangan global dan pada akhirnya mempengaruhi pula prospek kebijakan moneter ke depan.

Banker's Dinner BI

Bank Indonesia (BI) memprediksi prospek ekonomi global tahun 2025-2026 akan meredup. Ini dampak dari terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dengan slogan America First dan kondisi geopolitik. 

Hal itu disampaikan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo di hadapan para stakeholder dalam pertemuan tahunan BI (Banker's dinner). Ia menyebut, ada lima karakteristik yang akan membuat ketidakpastian semakin tinggi dari terpilihnya Trump. Pertama, slower and divergent growth di mana pertumbuhan ekonomi dunia akan menurun tahun 2025-2026.

“Ekonomi AS akan menguat, China dan Eropa melambat. Indonesia dan India masih cukup baik,” ungkap Perry dalam acara tahunan Para Bankir di Jakarta, Jumat (29/11/2024).

Kedua, adanya potensi penurunan inflasi dunia akan melambat dan bahkan adanya ancaman gangguan rantai pasok dan perang dagang.

Ketiga, Kenaikan imbal hasil yang lebih tinggi. Penurunan fed fund rate atau bunga acuan AS akan lebih rendah sementara imbal hasil surat utang AS masih tinggi mencapai 4,7% pada 2025 dan mencapai 5% pada 2026.

“Ini karena membengkaknya defisit fiskal dan utang pemerintah AS,” terang Perry.

Keempat, dolar yang kuat yang berdampak pada depresiasi seluruh mata uang dunia termasuk rupiah. Kelima, kembali dana investor ke pasar AS karena tingginya suku bunga dan kuatnya dolar.

(rui)

No more pages