“Untuk membeli [tambahan saham sebesar] 10% itu butuh biaya, harganya tinggi. Itu akan menguras dana yang cukup besar, sementara manfaatnya tidak begitu signifikan. Kalau pun ada tambahan dividen, misalnya, itu juga tidak begitu signifikan. Jadi harus jelas dahulu tujuannya. Apakah hanya ingin lebih mayoritas, atau ingin mendapatkan tambahan dividen atau apa? Itu harus jelas dahulu,” tegasnya.
Dia pun menggarisbawahi pemerintah mesti cermat dalam memperhitungkan perpanjangan IUPK bagi PTFI selepas 2041. Terlebih, masa puncak produksi Freeport diperkirakan berakhir pada kisaran 2030—2035.
Fahmi memperingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru memberi perpanjangan IUPK terhadap Freeport, lantaran secara aturan, pembahasan untuk perpanjangan itu baru dapat dilakukan 5 tahun sebelum kontrak berakhir.
Untuk itu, dia menyayangkan pernyataan pemerintah terkait dengan diizinkannya ekspor konsentrat tembaga bagi PTFI melebihi tenggat 10 Juni 2023, sebagaimana dimandatkan dalam UU No.3/2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
“Pelonggaran ekspor konsentrat itu menurut saya sangat blunder dan melanggar UU Minerba bahwa seluruh hasil tambang harus dilakukan penghiliran di dalam negeri. Namun, karena smelter-nya belum selesai, maka Freeport minta perpanjangan. Kalau diizinkan, maka itu melanggar UU minerba. Apalagi kemudian diatur dengan permen [peraturan menteri]. Itu kan dibawah undang-undang. Jadi saya kira tidak benar, itu harus dibatalkan,” tuturnya.
Diskriminasi ke Komoditas Lain
Tidak hanya itu, Fahmi menilai pelonggaran ekspor konsentrat tembaga bagi PTFI sebagai bentuk diskriminasi terhadap komoditas mineral mentah lain yang juga dituntut untuk setop ekspor pertengahan tahun ini, seperti bauksit dan timah.
Dia juga berpendapat perubahan kebijakan yang tidak menentu dapat mengganggu iklim investasi sektor pertambangan minerba.
“Jadi sekarang misalnya sudah banyak investor yang tertarik di smelter nikel, bauksit, atau lainnya. Mereka akan berpikir bahwa tidak ada kepastian hukum, sehingga mereka akan hengkang dari Indonesia. Investor baru juga akan berpikir ulang karena aturannya selalu berubah-ubah. Maka saya katakan, batalkan relaksasi ekspor Freeport tadi,” tegas Fahmi.
Untuk diketahui, setelah memperlonggar izin ekspor konsentrat bijih tembaga dari tenggat Juni 2023 menjadi pertengahan 2024, Pemerintah Indonesia kini tengah mengupayakan negosiasi untuk menambah porsi sahamnya di PTFI menjadi sekitar 60% dari posisi saat ini sebesar 51%.
Proses negosiasi tersebut diungkapkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia di sela paparan realisasi penanaman modal triwulan I-2023, Jumat (28/4/2023).
Bahlil menjelaskan upaya pemerintah untuk mengakuisisi lebih banyak saham Freeport didasari oleh kebutuhan negara dalam menjaga produksi mineral dan penghiliran perusahaan tersebut. Terlebih, produksi Freeport diproyeksi mencapai puncaknya pada kisaran 2030—2035.
“Itu masa produksinya. Nah, produksi pada 2020-an itu hasil eksplorasi pada 1990-an. Jadi, eksplorasi di Freeport butuh waktu 10—15 tahun baru bisa dilakukan produksi. Beda dengaan eksplorasi nikel atau batu bara. Apalagi, Freeport ini tambangnya underground,” ujar Bahlil.
Atas pertimbangan tersebut, Bahlil mengungkapkan pemerintah tengah menjajaki kemungkinan untuk memperpanjang IUPK Freeport yang akan berakhir pada 2041.
Pemerintah, lanjutnya, tengah menghitung berapa masa perpanjangan IUPK yang layak untuk Freeport, dengan mempertimbangkan potensi cadangan mineral yang masih ada hingga 2035. Sejalan dengan itu, opsi mengakuisisi lebih banyak saham Freeport untuk dilimpahkan kepada badan usaha milik negara (BUMN) pun menyeruak.
“Apalagi sekarang di Freeport itu, saham [Pemerintah Indonesia] sudah 51%. Jadi dalam negosiasi sekarang, kalau kita bisa tambah lagi [porsi saham pemerintah sebesar] 10%, itu sudah bisa menjadi 60%. Kita lagi meminta kepada Freeport supaya penambahan [saham] itu kalau bisa tidak dihitung valuasinya. Dengan kata lain, kita lagi membicarakan untuk semurah mungkin [mengakuisisi saham PTFI] agar BUMN atau negara bisa mengambil [alih saham Freeport],” ungkapnya, tanpa bersedia mengelaborasi lebih detail lantaran proses negosiasi masih berlangsung.
Di sisi lain, PTFI mengaku belum menerima konfirmasi langsung dari pemerintah perihal pelonggaran larangan ekspor konsentrat bijih tembaga dari tenggat 10 Juni 2023 menjadi medio 2024, demikian juga soal perpanjangan IUPK setelah 2041.
Hal itu diutarakan oleh Vice President Corporate Communication Freeport Indonesia Katri Krisnati saat dimintai konfirmasi oleh Bloomberg Technoz.
“Kami belum menerima konfirmasi resmi dari pemerintah perihal izin ekspor konsentrat tembaga. Jika keputusan tersebut diberikan, kami sangat mengapresiasi dukungan pemerintah untuk memastikan kontinuitas operasional tambang yang secara teknis sangat dibutuhkan dan keberlanjutan investasi yang akan berdampak signifikan bagi ekonomi Indonesia khususnya masyarakat Papua,” tuturnya.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia dikabarkan melunak dalam menerapkan tenggat larangan ekspor konsentrat tembaga pada 10 Juni 2023. Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo akhirnya membolehkan PTFI dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara untuk tetap mengekspor konsentrat hingga pertengahan 2024.
Kabar itu diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Jumat (28/4/2023). Menurutnya, kelonggaran yang diberikan kepada PTFI dan Amman Mineral mempertimbangkan faktor pandemi Covid.
Keadaan kahar tersebut menyebabkan proses penghiliran tembaga melalui investasi fasilitas pemulihan konsentrat (smelter) tidak berjalan sesuai rencana, sehingga pelaku industri belum siap untuk menyetop ekspor konsentratnya per medio tahun ini.
Menyitir laporan PTFI, per kuratal I/2023, perusahaan mengucurkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sekira US$0,3 miliar untuk pembangunan smelter di Manyar, Gresik, Jawa Timur dan fasilitas pemurnian logam mulia (PMR).
Adapun, total investasi PTFI untuk proyek smelter Manyar ditaksir mencapai US$3 miliar, dengan target beroperasi pada 2024. Fasilitas pemurnian tersebut digadang-gadang sebagai smelter tembaga terbesar dunia dengan kapasitas produksi 1,7 juta ton konsentrat per tahun untuk menghasilkan 600 ribu ton katoda per tahun.
Menurut catatan Kementerian ESDM, hingga saat ini konstruksi smelter PTFI baru sekitar 60% dengan progres investasi 62,5% atau sekira US$1,5 miliar.
(wdh)