Platform yang melanggar aturan ini bisa dikenai denda hingga A$50 juta (sekitar Rp515 miliar). Namun, bagaimana cara memverifikasi usia pengguna belum jelas. Pemerintah Australia melarang penggunaan dokumen resmi, seperti paspor, untuk verifikasi karena alasan privasi. Anak-anak yang berhasil lolos dari kontrol verifikasi tidak akan didenda, begitu pula orang tua mereka.
Bagaimana Reaksi Perusahaan Media Sosial Terhadap Keputusan Australia?
Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, menyebut undang-undang ini "dibuat tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan bukti atau pendapat kaum muda."
TikTok, yang dimiliki oleh perusahaan China ByteDance Ltd, menyatakan bahwa undang-undang tersebut "terlalu terburu-buru" dan "tidak praktis", serta penuh dengan "pertanyaan yang belum terjawab dan masalah yang belum terselesaikan". Perusahaan induk Snapchat, Snap Inc, juga menyatakan bahwa upaya internasional sebelumnya untuk melakukan verifikasi usia secara luas dan wajib telah gagal.
X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter dan kini dimiliki oleh Elon Musk, mengungkapkan "kekhawatiran serius mengenai keabsahan RUU tersebut", mengindikasikan kemungkinan adanya gugatan hukum.
Apakah Mereka akan Menghormati Larangan Tersebut?
Perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam larangan tersebut diwajibkan untuk mematuhi undang-undang setelah diberlakukan atau menerima denda. Meta menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka akan menghormati larangan tersebut, dan Snapchat berjanji untuk bekerja sama dengan regulator pemerintah, menurut NPR.
Namun, masih belum jelas bagaimana platform-platform tersebut akan memverifikasi usia pengguna jika mereka tidak diizinkan untuk mengandalkan dokumen resmi pemerintah. Meta, mengatakan kepada Bloomberg sebelum larangan media sosial Australia disahkan, bahwa mereka berencana menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menangkap remaja yang berbohong tentang usia mereka.
Apa yang Dilakukan Negara Lain?
Prancis telah mengesahkan aturan serupa pada 2023, mewajibkan izin orang tua bagi anak di bawah 15 tahun yang ingin membuat akun media sosial. Menteri Pendidikan Prancis, Anne Genetet, telah mengusulkan agar Uni Eropa mencontoh Australia dengan memberlakukan batasan usia minimum untuk penggunaan media sosial, demikian dilaporkan Politico. Norwegia juga ingin menetapkan usia minimum 15 tahun setelah data menunjukkan banyak anak di bawah 13 tahun, batas usia saat ini, masih aktif menggunakan platform populer, seperti yang dilaporkan Guardian dan publikasi lainnya pada bulan Oktober. Di Inggris, kemungkinan larangan media sosial untuk anak di bawah 16 tahun sedang "dipertimbangkan", demikian disampaikan oleh Sekretaris Teknologi Peter Kyle kepada BBC pada bulan November.
Di Amerika Serikat, anggota parlemen negara bagian telah memberlakukan sejumlah undang-undang yang mewajibkan platform media sosial untuk mempertimbangkan privasi dan perlindungan anak-anak dalam merancang layanan mereka. Undang-undang ini juga mengatur akses anak di bawah umur ke platform media sosial. Namun, di beberapa negara bagian, undang-undang tersebut telah digugat dan dinyatakan tidak konstitusional oleh pengadilan.
Apa Saja Kritik dan Kekhawatiran atas Kebijakan Australia?
Salah satu keterbatasan dari sekadar mengeluarkan larangan adalah tidak mengurangi produksi konten berbahaya, kata Lisa Given, seorang profesor ilmu informasi di RMIT University di Melbourne, kepada Bloomberg.
"Undang-undang ini benar-benar salah konsepsi," katanya tentang larangan Australia. "Ini adalah solusi sederhana yang diusulkan untuk sesuatu yang sebenarnya sangat rumit. Dan dari mana angka 16 itu berasal? Sepertinya itu hanya dibuat-buat."
UNICEF, badan PBB untuk anak-anak, mengatakan larangan Australia akan mendorong anak muda ke tempat-tempat online yang lebih gelap dan tidak diatur. "Alih-alih melarang anak-anak, kita harus meminta pertanggungjawaban perusahaan media sosial untuk menyediakan lingkungan online yang sesuai usia, aman, dan mendukung," kata Katie Maskiell, kepala kebijakan dan advokasi hak anak di UNICEF Australia, dalam sebuah pengajuan ke parlemen Australia.
Apa yang Terjadi dalam Gugatan Hukum AS?
Anak-anak, remaja, dan dewasa muda — kadang-kadang melalui orang tua, saudara kandung, atau anggota keluarga lainnya — telah mengajukan ratusan gugatan cedera pribadi terhadap Meta, ByteDance, Alphabet Inc (induk Google dan pemilik YouTube) dan Snap atas klaim tentang gangguan psikologis, gangguan fisik, dan kematian. Terpisah, distrik sekolah umum telah mengajukan ratusan kasus yang berusaha untuk menyatakan platform tersebut sebagai gangguan publik karena mengganggu pembelajaran. Dan puluhan jaksa agung negara bagian telah menargetkan Meta dan ByteDance dengan tuntutan hukum yang menuduh perusahaan-perusahaan tersebut menggunakan fitur-fitur berbahaya untuk membuat anak-anak tetap berada di platform lebih lama untuk memaksimalkan keuntungan. Perusahaan-perusahaan tersebut telah membantah melakukan kesalahan dan Meta telah mengajukan banding atas beberapa putusan awal yang merugikan mereka — yang kemungkinan akan menunda persidangan yang oleh seorang hakim federal di Oakland, California, ditargetkan untuk dijadwalkan pada akhir 2025.
Apa Dasar Hukum untuk Gugatan Ini?
Gugatan hukum terhadap perusahaan media sosial ini menuduh mereka sengaja merancang platform yang membuat anak-anak kecanduan. Kelompok usia ini dianggap sangat rentan terhadap kecanduan karena tubuh dan pikiran mereka masih dalam tahap perkembangan, menurut berbagai studi akademik dan medis. Gugatan cedera pribadi ini didasarkan pada klaim tanggung jawab produk, mirip dengan litigasi selama puluhan tahun terhadap rokok, asbes, perangkat medis cacat, dan obat-obatan berbahaya, meskipun hasilnya beragam.
Gugatan dari distrik sekolah berlandaskan teori yang serupa dengan tuntutan hukum dalam krisis kecanduan opioid, yang sejauh ini membuat produsen obat, distributor, dan pengecer setuju membayar hampir US$50 miliar sebagai ganti rugi. Litigasi juga pernah dilakukan terhadap Juul Labs Inc, produsen rokok elektrik, yang dituding memicu epidemi vaping di kalangan remaja AS.
Secara umum, gugatan ini menuduh raksasa media sosial menggunakan teknik perilaku dan neurobiologis yang diadopsi dari industri perjudian dan rokok. Mereka diduga merancang umpan algoritmik tak berujung yang mendorong pengguna muda masuk ke dalam apa yang disebut flow state; sebuah kondisi mental di mana seseorang sepenuhnya terfokus pada aktivitas yang sedang dilakukan. Dalam kondisi ini, pengguna bereaksi terhadap notifikasi yang terus-menerus, memanipulasi kadar dopamin, mendorong pengecekan akun secara berulang, dan memberi reward atas penggunaan tanpa henti. Kecanduan media sosial ini dituding menyebabkan berbagai gangguan psikologis, hingga dalam kasus ekstrem, melukai diri sendiri atau bunuh diri. Kecanduan ini juga menghasilkan data yang sangat berharga tentang preferensi, kebiasaan, dan perilaku pengguna muda yang dijual kepada pengiklan.
Apa Kata Perusahaan tentang Gugatan Ini?
Perusahaan-perusahaan media sosial ini menyatakan bahwa mereka telah menyediakan banyak sumber daya untuk menjaga anak-anak tetap aman saat online. Mereka juga berargumen bahwa gugatan ini secara tidak tepat mencoba mengatur konten.
Salah satu lini pertahanan utama mereka adalah Pasal 230 Undang-Undang Kepatutan Komunikasi (Communications Decency Act) tahun 1996, yang melindungi perusahaan dari tanggung jawab atas komentar, iklan, gambar, dan video yang ada di platform mereka. Perusahaan ini telah berhasil meyakinkan hakim untuk menolak beberapa klaim kecanduan berdasarkan Pasal 230. Namun, klaim tentang kelalaian dan gangguan publik tetap diizinkan untuk dilanjutkan.
(bbn)