“Ini kan ujung-ujungnya production cost. Misal [SPBU] punya margin dikit saja yang penting harga [BBM] bisa kejual semua. Itu kan market mechanism,” ujarnya.
“Kan ada [SPBU] AKR, VIVO, ada banyak. Nonsubsidi nggak masalah, Pertamax 92. Yang enggak kan yang Pertalite, Solar B35, LPG 3 kg. Tapi kalau nanti gasifikasi batu bara itu jadi harganya compatible sama yang LPG dari migas. Itu bisa berkembang, batu bara kita banyak, gede, cadangannya besar,” lanjut dia.
Untuk diketahui, masuknya SPBU selain milik Pertamina di Indonesia tidak terlepas dari adanya reformasi Undang-Undang Minyak dan Gas (Migas) dengan berlakunya Undang-undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
UU tersebut memberikan liberalisasi di sektor migas Tanah Air, sehingga menjadikan perusahaan pelat merah Indonesia harus berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan migas lainnya secara sehat dan wajar, termasuk di bisnis hilir migas.
Tercatat, Shell muncul sebagai perusahaan migas asing yang pertama kali menantang dominasi Pertamina di bisnis SPBU Tanah Air. SPBU Shell di Indonesia meluncur pertama kali pada 1 November 2005.
Sistem Monopoli
Dalam kaitan itu, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal menyebut Pertamina memiliki sistem monopoli karena difasilitasi dan didorong oleh pemerintah untuk menjual BBM.
Hal ini merespons kabar Shell Indonesia yang disebut berencana menutup seluruh SPBU-nya di Indonesia, meski belum ada ketegasan apakah rencana tersebut akan dieksekusi dalam waktu dekat, atau jangka menengah/panjang.
“Kalau SPBU [di Indonesia] memang karena didominasi Pertamina. Jadi [Shell] enggak berkembang. Referensi pemerintah ke Pertamina, makanya BBM bersubsidi oleh Pertamina itu membuat market share Pertamina [mencapai] 90%,” kata Moshe, akhir pekan lalu. “Ngapain [SPBU] Shell di Indonesia, [kalau] enggak bisa tumbuh?"
Menurut Moshe, seiring dengan makin berkembangnya zaman, kualitas BBM Pertamina kian hari kian membaik. Berbeda dengan beberapa tahun ke belakang saat performa bahan bakar Shell lebih baik dibandingkan dengan Pertamina.
Tidak hanya itu, Moshe berujar, Shell Plc di tingkat global memang memiliki strategi bisnis untuk mengurangi operasi di lini hilir atau downstream migas di wilayah Asia Tenggara. Shell, sambungnya, akan fokus terhadap industri bagian hulu atau upstream.
Dihubungi terpisah, Vice President Corporate Relations Shell Indonesia Susi Hutapea membantah kabar yang beredar bahwa Shell akan menutup seluruh SPBU di Indonesia.
"Shell Indonesia menginformasikan bahwa informasi yang beredar terkait dengan rencana Shell menutup seluruh SPBU di Indonesia adalah tidak benar. Kami tidak dapat berkomentar atas spekulasi yang terjadi di pasar," kata Susi kepada Bloomberg Technoz, Minggu (24/11/2024).
Bagaimanapun, Shell Indonesia tahun ini sudah menutup operasional 9 SPBU di Sumatra Utara sejak 1 Juni 2024. Sebelum penutupan di Sumatra itu, Shell mengoperasikan 215 SPBU di Indonesia; yaitu di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatra Utara.
Managing Director Mobility Shell Indonesia Ingrid Siburian pada Mei mengatakan keputusan ini sejalan dengan strategi Shell secara global untuk menciptakan produk dengan nilai lebih dan emisi yang lebih rendah. Selain itu, Shell juga bakal berfokus pada disiplin, penyederhanaan, serta kinerja bisnis.
Di tingkat global, Shell Plc juga berencana menutup 1.000 SPBU hingga 2025. Penutupan ini seiring dengan meningkatnya permintaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).
"Kami berencana mendivestasikan 500 SPBU, termasuk usaha patungan, setiap tahunnya pada 2024 dan 2025," kata Shell dalam laporan Energy Transition Strategy 2024, seperti dilaporkan Bloomberg.
(mfd/roy)