Taruna juga mengingatkan bahwa tenaga medis seperti dokter seharusnya memiliki tanggung jawab atas pemberian antibiotik kepada pasien. Pasalnya, kesalahan dalam pemberian antibiotik juga mengakibatkan hal yang fatal atas surat izin praktek dokter.
"Nah kemudian kenapa harus dokter? Karena dokter yang tahu jenis penyakitnya, dokter yang tahu jenis infeksinya, dokter yang tahu punya tanggung jawab. Kalau dokter salah-salah bisa dicabut surat izin prakteknya, ada yang tanggung jawab," papar dia.
Kemudian, kata Taruna, masyarakat juga harus memiliki kesadaran atas penggunaan antibiotik "Tidakusah berpikir bahwa antibiotik itu obat segala jenis penyakit," jelas dia.
Resistensi antimikroba, kata Taruna, juga bisa terjadi dari binatang. Binatang secara biologi terkadang ketika sakit dengan penggunaan antibiotik tertentu bisa mengalami resistensi.
"Nah itu yang berikutnya kita perlu cegah. Jadi para dokter hewan kalau meresepkan atau memberikan binatangnya antibiotik, tepat sasaran juga," kata dia.
Selain itu, Taruna juga mengingatkan pembuangansampah antibiotik, masyarakat harussadar akan hal ini. Biasanya pemberianantibiotik, seperti macamantibiotik sirup, antibiotik kapsul, kalau diberikan oleh dokter misalnya untuk 5 hari, harus dihabiskan. Jika tersisa dan dibuang sembarang bisa berdampak pada lingkungan.
"Kita harus sadar bahwa infeksi yang masuk ke dalam tubuh kita itu dari lingkungan kita. Nah kalau dibuang sampahnya di sembarangan tempat antimikroba ini, mikroba-mikroba di sekeliling kita itu akan berdampak," imbuhnya.
Taruna mengatakan penyebab kebal antibiotik atau resistensi ini memang terpantau dari sarana layanan kefarmasian di apotek dan toko lain yang menjual antibiotik secara bebas tanpa resep dokter.
"Di Indonesia berturut-berturut peningkatannya dari 2021 hingga 2023 ada sekitar 79,5% apotek yang memberikan antibiotik tanpa resep. Artinya cuma 20% yang pemakaian sesuai dengan indikasi," ujar Taruna.
(dec/lav)