Sebagai langkah pencegahan greenwashing, TuK Indonesia mendorong agar taksonomi hijau memiliki kekuatan hukum yang mengikat, bukan sekadar panduan tanpa konsekuensi.
Untuk itu, penting adanya task force yang bekerja secara multipihak dengan melibatkan kementerian dan lembaga terkait. Lebih lanjut, Linda menekankan pentingnya melibatkan masyarakat terdampak.
“Jadi ada wadah yang jelas untuk saling memberikan informasi dan berkomunikasi, jika ada kendala bisa didiskusikan bersama. Hal ini termasuk penyediaan informasi yang transparan serta mekanisme komplain yang jelas dan mudah diakses,” tutur Linda.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Departemen Surveillance dan Kebijakan Sektor Jasa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Henry Rialdi, mengakui bahwa Indonesia masih bergantung pada batu bara. Bagi sistem keuangan, jika pembiayaan dihentikan secara total, maka hal itu akan mengganggu banyak hal.
Kondisi serupa juga terjadi pada portofolio bank yang masih mendukung sektor kelapa sawit, di mana penghentian pembiayaan dianggap dapat mengancam stabilitas ekonomi.
Henry juga menekankan saat ini taksonomi tetap menggunakan tiga klasifikasi, namun penamaannya yang berbeda yakni green, transition, dan unqualified.
“Jadi bukan berarti merah itu masuk transition, tapi berarti masuk unqualified,” ujarnya.
Sementara itu, Head Sustainability Maybank Indonesia Maria Trifanny Fransiska menyoroti tantangan dalam implementasi taksonomi hijau seperti validasi dan verifikasi kreditor atas klasifikasi yang dilakukan debitur secara mandiri (self-declare). Oleh karena itu, penting bagi OJK untuk membuat daftar perusahaan bermasalah.
“Hal ini menyulitkan bank menentukan proyek yang layak dibiayai,” sebut Maria.
(mfd/roy)