Logo Bloomberg Technoz

Bank Indonesia kembali mengerek bunga diskonto SRBI untuk menarik minat pemodal di mana kali ini untuk SRBI-12M sudah menyentuh 7,20%, tertinggi sejak pertengahan Agustus lalu.

Makin tingginya bunga SRBI sepertinya turut memicu kenaikan yield INDOGB-2Y siang ini naik sedikit 0,9 bps ke level 6,46% di tengah penurunan mayoritas imbal hasil surat berharga negara berdenominasi rupiah.

Yield INDOGB-5Y turun 3,4 bps pada perdagangan tengah hari, seperti dilansir dari data Bloomberg, ke level 6,74%. Sedangkan tenor 10Y hanya turun 1,2 bps ke 6,89%.

Lelang SRBI

Dalam lelang rutin SRBI hari ini, nilai incoming bids atau penawaran masuk dari investor hanya sebesar Rp18,44 triliun. Turun dari lelang pekan sebelumnya sebesar Rp19,2 triliun. 

Para pemodal meminta yield tinggi untuk instrumen penampung hot money tersebut. Bila dalam lelang pekan sebelumnya, rata-rata imbal hasil yang diminta oleh investor sekitar 7,14%, maka dalam lelang hari ini permintaan yield naik hingga menjadi 7,20%.

Bank Indonesia akhirnya memenangkan SRBI tenor terpanjang dengan bunga diskonto sekitar 7,20%, tertinggi sejak lelang pertengahan Agustus lalu. Nilai penawaran yang dimenangkan juga lebih kecil Rp16,3 triliun atau 88,39% dari nilai yang masuk. Persentase itu lebih kecil dibanding lelang sebelumnya.

Kenaikan bunga SRBI yang terus berlanjut ditengarai menjadi jurus BI agar investor asing kembali masuk ke pasar domestik. Maklum, dalam sebulan terakhir, kepemilikan asing di instrumen baru itu turun. 

Mengacu data statistik, penempatan asing di SRBI sudah melorot sedikitnya Rp4,39 triliun menjadi tinggal Rp250,18 triliun per 18 November. Proporsi kepemilikan asing di SRBI yang memberikan bunga tinggi itu juga anjlok tinggal 25,82% dari sebesar 27,23% pada bulan sebelumnya.

Adapun lokal semakin tinggi kepemilikannya di SRBI sebesar Rp38,34 triliun dalam sebulan terakhir atau naik 5,34% menjadi Rp718,64 triliun. Laju penguasaan SRBI oleh lokal yang melampaui asing, akan memantik situasi crowding out lebih rumit ke depan.

Analis mencermati, terakhir kali SRBI & SVBI kehilangan daya tarik adalah pada bulan Maret dan April, ketika pelemahan nilai rupiah mencapai puncak. Overshooting nilai tukar rupiah baru berakhir setelah BI menaikkan suku bunga kebijakannya sebesar 25 bps menjadi 6,25% pada bulan April lalu.

"Tampaknya investor, terutama investor asing, mengantisipasi depresiasi rupiah yang akan berlanjut hingga Desember," kata Lionel Priyadi, Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas.

Alhasil, mengerek bunga SRBI seakan menjadi satu-satunya jalan bagi bank sentral saat ini yang dalam pengumuman bunga acuan pekan lalu memastikan akan makin agresif memakai instrumen itu untuk menjaga stabilitas rupiah.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana bila SRBI semakin ditinggalkan oleh asing meski terus menawarkan tingkat bunga yang tinggi? Playbook umum adalah mengerek lagi bunga acuan BI rate, yang kini sudah mulai diantisipasi oleh sebagian pelaku pasar setidaknya dalam 12 bulan ke depan. "Namun, menaikkan bunga acuan akan buruk bagi perekonomian domestik," kata Lionel.

Pengetatan moneter selama ini sudah memperlambat laju pertumbuhan ekonomi di mana konsumsi rumah tangga kian tertekan. Dengan sejumlah kebijakan pemerintah yang potensial makin membebani pengeluaran masyarakat ke depan, kenaikan BI rate lagi adalah hal terakhir yang ingin didengarkan oleh orang Indonesia.

Bunga acuan yang kembali naik ketika daya beli sudah begitu lesu, hingga sempat terjadi deflasi beruntun selama lima bulan, akan menjadi double kill yang potensial membawa perekonomian semakin ambles. 

Cara lain agar tekanan terhadap rupiah masih bisa ditahan tanpa mengerek bunga acuan, menurut analis, adalah melakukan intervensi langsung ke pasar. Meski hal itu akan terbatas karena bagaimanapun nilai cadangan devisa ada batasnya. 

BI kini berupaya agar rupiah tetap terjaga di kisaran Rp15.700-Rp16.100/US$ dengan berbekal cadangan devisa likuid lebih besar diperkirakan mencapai US$135,81 miliar pada Oktober dari total cadangan devisa akhir bulan lalu sebesar US$151,2 miliar.

Bila dibandingkan nilai cadangan devisa likuid pada Maret dan April yang masing-masing sebesar US$126,43 miliar dan US$121,99 miliar, angka terakhir seharusnya memberikan kepercayaan diri lebih besar bagi bank sentral. Terlebih, Pemerintah RI baru saja menjual sukuk global senilai US$2,75 miliar yang bisa semakin memperkuat cadangan devisa.  

(rui)

No more pages