Pemberi Dana
Purnomo menggarisbawahi pendanaan pensiun PLTU tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan pemerintah. Terlebih, beban anggaran yang dibutuhkan pemerintah saat ini sangat banyak untuk menjalankan berbagai program prioritas Prabowo.
“Jadi bagaimana kita bisa mendanai [pemadaman PLTU]? Itu masih jadi isu. Kalau dari dalam negeri, bisa, tetapi business as usual. [Kebutuhan dana pemadaman PLTU] angkanya besar sekali, miliaran dolar AS. Itu baru punya PLN, belum punya swasta” ujarnya.
“Hal yang kita lakukan dahulu mungkin [memadamkan PLTU] yang punya negara dahulu, punya BUMN, yang bisa diajak negosiasi. Kemudian, itu juga punya uang. Kalau ini ditutup, harus diganti megawattnya, kalau tidak kan bisa blackout nanti. Kalau blackout, isunya jadi isu kemasyarakatan.”
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyatakan janji untuk mengonversi seluruh PLTU berbasis batu bara di Indonesia ke energi baru terbarukan (EBT) dalam 15 tahun ke depan.
Pernyataan itu diutarakan di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil pekan ini, pada sesi yang mengangkat tema Sustainable Development and Energy Transition.
“Kami juga memiliki sumber daya panas bumi yang luar biasa, dan kami berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan semua pembangkit listrik tenaga fosil dalam 15 tahun ke depan. Kami berencana untuk membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan,” tegasnya dikutip dari laman Sekretariat Presiden, Kamis (21/11/2024).
Bagaimanapun, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut sejauh ini belum ada daftar konkret dari pemerintah ihwal PLTU yang akan dipensiunkan, selain Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu.
Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), padahal, terdapat sebanyak 253 PLTU yang beroperasi di Tanah Air per 2023. Untuk itu, Bhima menilai komitmen transisi energi pemerintah masih belum terlalu realistis.
“Kalau pemerintah memang serius melakukan transisi energi, maka upayakan untuk mematikan PLTU batu bara dan mencegah izin pembangunan PLTU. Hal itu harus dilakukan dengan jelas, sehingga semua pihak bisa melihat tenggat dan progresnya,” ujarnya.
Bhima menggarisbawahi, saat ini saja, masih banyak kawasan industri yang menggunakan PLTU captive dengan kapasitas diperkirakan menembus 17,1 gigawatt (GW) hingga akhir 2024.
Di sisi lain, menurutnya, belum ada tanda-tanda pemerintah akan merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, sebagai payung hukum dari pembangunan PLTU di kawasan industri.
Sekadar catatan, perpres tersebut masih melibatkan PLTU sebagai salah satu pembangkit yang boleh dibangun dan terintegrasi dengan industri nasional. Dengan kata lain, Indonesia masih membolehkan penggunaan batu bara dalam misi transisi energi, yang dinilai berseberangan dengan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Selain itu, PT PLN [Persero] masih menjaga umur PLTU batu bara on grid lebih panjang dengan melakukan co-firing biomassa. Kementerian teknis—seperti Kementerian Keuangan dan ESDM — bahkan menghindari pemensiunan PLTU batu bara dengan alasan memicu kerugian negara,” tegas Bhima.
Dia juga menggarisbawahi beberapa PLTU on grid bahkan baru saja beroperasi dan dibangun seperti PLTU Cirebon-2. “Jadi belum ada aksi nyata dari pemerintah dan PLN [untuk benar-benar menekan batu bara dalam bauran energi primer nasional].”
(wdh)