Walhasil, lanjut Purnomo, pemerintah pada waktu itu memutuskan untuk membebaskan 7 komoditas bahan bakar dari topangan subsidi; termasuk avtur, avgas, fuel oil, dan diesel oil.
Akan tetapi, tiga jenis BBM masih dipertahankan untuk tetap disubsidi, termasuk Premium RON 88 yang sekarang menjadi Pertalite RON 90, minyak tanah atau kerosene, serta Solar yang dalam perkembangannya mengalami penaikan standar menjadi biodiesel B35.
“Jadi pelan-pelan kita substitusi Solar itu dengan B35. Sekarang sudah sampai B35, nanti terus jalan ke B40, B50 dan seterusnya. Kemudian, minyak tanah kita substitusi dengan LPG [liquefied petroleum gas/gas minyak cair],” tutur Purnomo.
Subsidi Langsung
Lebih lanjut, dia menjelaskan, upaya untuk menghemat anggaran subsidi BBM agar lebih tepat sasaran memang akan efektif jika konsepnya diubah dari subsidi harga menjadi subsidi langsung.
Dalam kaitan itu, subsidi langsung yang dimaksud adalah memberikan bantuan langsung tunai ke rakyat menggunakan BLT.
“Tidak ada pilihan, walaupun memang agak bumpy [bergejolak]. Bumpy itu ya masyarakat banyak menolak, tetapi so far sekarang jalan sih. Sekarang kan pilihannya [pemerintah menghabiskan anggaran] hampir Rp200 triliun lebih untuk Pertalite, Solar, terus LPG 3 Kg, dan kerosene,” ujarnya.
“Lalu [subsidi] listrik itu ada R1 dan R1. Subsidi R1 itu yang 450 VA dan R2 yang 900 VA. Tentunya keputusan harus dikembalikan kepada antara eksekutif dan legislatif untuk memutuskan.”
Untuk diketahui, Menteri ESDM baru saja mengonfirmasi keputusan final pemerintah untuk mengalihkan sebagian subsidi BBM ke format BLT.
Menurut Bahlil, pengalihan subsidi BBM menjadi BLT akan dilakukan secara kombinasi atau blended. Dengan kata lain, subsidi BBM tidak akan sepenuhnya dicabut; tetapi hanya sebagian dialihkan ke dalam format bantuan uang kepada masyarakat, sedangkan sisanya tetap menggunakan skema subsidi berbasis kuota terhadap komoditas/barang.
“Nanti Bapak Presiden [Prabowo Subianto] insyallah dengan kami akan mengumumkan, jadi skemanya ini kemungkinan besar itu blending antara ada subsidi barang dan sebagian subsidi BLT,” kata Bahlil kepada awak media, Rabu (27/11/2024).
Bahlil mengaku sudah menemui Prabowo untuk membahas keputusan final mengenai perubahan skema subsidi BBM mulai tahun depan, berikut tata cara penyaluran dan kriteria penerimanya agar lebih tepat sasaran.
Dia pun menggarisbawahi bahwa perubahan skema tersebut tidak berarti pemerintah akan mencabut subsidi BBM. “Semuanya ada subsidi, cuma selama ini kan kita tahu, bahwa subsidi ini ditengarai sebagian tidak tepat sasaran,” lanjutnya.
Sekadar catatan, dalam APBN 2025, total volume BBM bersubsidi dialokasikan sebanyak 19,41 juta kiloliter (kl). Perinciannya, minyak tanah sebesar 0,52 juta kl dan minyak solar sejumlah 18,89 juta kl.
Sementara itu, untuk LPG 3 Kg, pemerintah mengalokasikan volume sebesar 8,2 juta metrik ton.
Penetapan alokasi subsidi ini mengalami penurunan dibandingkan dengan dengan target tahun sebelumnya sebesar 19,58 juta kl, didorong oleh rencana efisiensi penyaluran BBM bersubsidi pada 2025 agar lebih tepat sasaran.
Pemerintah sendiri telah mengusulkan untuk mempertahankan besaran subsidi untuk solar sebesar Rp1.000 per liter pada 2025. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari kenaikan harga BBM.
Selain BBM dan LPG, pemerintah juga mengalokasikan anggaran Rp90,22 triliun untuk subsidi listrik pada 2025 dan naik dari target 2024 sejumlah Rp73,24 triliun. Angka ini mencakup sisa kurang bayar 2023 sebesar Rp2,02 triliun.
Kenaikan tersebut didorong oleh perkiraan kenaikan jumlah penerima subsidi listrik dari 40,89 juta pelanggan pada 2024 menjadi 42,08 juta pada 2025.
(wdh)