“Nah saya kebetulan dahulu pengusaha kan ekspor-ekspor barang mentah terus. Aku tahu pengusaha [tambang] cari duit paling gampang gitu, ya sudah ekspor [barang mentah], tidak perlu tambah biaya kan. Cukup punya excavator, punya truk, punya geologis, angkutan, gali, kirim. Dapatnya US$10—US$15 per ton. Itu zaman saya. Saya kan mau insaf ini,” ujarnya.
Menurut Bahlil, pengusaha bauksit semestinya tidak boleh memiliki pola pikir tersebut, tetapi harus mengedepankan kepentingan negara dalam jangka panjang.
“Mereka juga sudah untung. Jadi bauksit, mohon maaf, memang banyak izin sudah keluar, [karena pengusaha] membuat komitmen dengan pemerintah, katanya [investasi smelter-nya] sudah sekian persen, makanya dikasih izin ekspor. Ternyata, apa yang dilaporkan itu tidak sesuai kenyataan,” ungkap Bahlil.
Balik Modal
Kementerian ESDM sebelumnya tidak menampik tingkat internal rade of return (IRR) dari proyek pabrik pemurnian atau smelter bauksit relatif lebih rendah dibandingkan dengan nikel.
Sekadar catatan, IRR adalah besarnya tingkat pengembalian modal yang digunakan untuk menjalankan sebuah usaha atau bisnis.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno tidak menjelaskan dengan lengkap ihwal perbandingan IRR antara investasi smelter bauksit dan nikel tersebut, tetapi mengatakan proses balik modal dari bauksit lumayan lama.
Hal tersebut dinilai menjadi salah satu biang keladi proyek smelter bauksit terhambat atau bahkan mangkrak di Indonesia.
“Kalau kendalanya, jika dibandingkan dengan nikel, memang IRR-nya relatif lebih rendah si bauksit. Jadi, balik modalnya lumayan lama,” ujar Tri saat ditemui di kantornya medio bulan ini.
Menurut Tri, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memberikan arahan untuk nantinya melakukan percepatan terhadap proyek smelter bauksit. Saat ini, Kementerian ESDM juga bakal fokus terhadap proyek-proyek yang sedang berjalan.
“Sambil [nanti] lebih hilir lagi, kan tujuannya hilirisasi sampai ke end product-nya,” ujarnya.
Berbeda kisah dari nikel dan tembaga, hilirisasi lain di sektor bauksit justru masih tertatih. Hilirisasi bauksit sebenarnya menghasilkan produk dengan nilai tambah besar berupa alumina. Namun, hal tersebut justru menyebabkan nilai investasi yang digelontorkan untuk pembangunan smelter menjadi lebih mahal.
Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Indonesia (AP3BI) Ronald Sulistyanto menjelaskan biaya investasi smelter bauksit mencapai US$1,2 miliar untuk 2 juta ton.
“Nikel itu bervariasi, di bawah US$1,2 miliar, bergantung dengan produk turunannya apa. Kenapa bauksit mahal? Karena turunannya hanya sekali, jadi alumina,” ujar Ronald.
Investasi yang besar tersebut pada akhirnya menyebabkan progres pembangunan smelter bauksit menjadi lambat, yakni saat ini rata-rata berada di bawah 50%.
Bahkan, AP3BI menilai Indonesia belum akan memiliki smelter bauksit tambahan dalam waktu dekat, usai Presiden ke-7 RI Joko Widodo sebelumnya melakukan peresmian terhadap injeksi bauksit perdana Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) fase 1 di Mempawah, Kalimantan Barat dengan nilai investasi Rp16 triliun.
(wdh)