“Nah, dari sisi pembatasan ekspor Kanada kemarin ke produk-produk EV-nya China yang sampai dengan 100% tambahan tarif. Itu juga sebenarnya produknya China setelah ditambahkan tarif 100% sebenarnya masih kompetitif dibandingkan dengan produknya Amerika,” tutur Dilo.
Imbas kenaikan tarif tersebut mendorong adanya kenaikan inflasi karena harga beli menjadi lebih mahal. Di sisi lain, kebijakan Trump cenderung akan memperkuat paritas daya beli warga AS.
“Akan tetapi, dari sisi lain, memang inflasi kayaknya akan lebih tinggi daripada tahun ini. Pertumbuhan ekonomi nggak akan lebih banyak bergerak ya. Jadi mungkin memang banyak yang masih mengandalkan dari sisi konsumsi,” ujar Dilo.
Sementara itu, berdasarkan London Metal Exchange (LME), harga nikel ditutup menguat 1,46% menjadi US$16.200/ton pada penutupan perdagangan kemarin.
Bank Dunia mengestimasikan harga nikel menguat secara anual; masing-masing 3% pada 2025 dan 6% pada 2026, setelah anjlok dari rekor tertingginya pada 2022.
Dalam laporan Commodity Market Outlook terbarunya, Bank Dunia mengatakan proyeksi penguatan harga nikel terjadi seiring dengan permintaan global yang diramal terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang, didukung ekspansi produksi baja nirkarat dan baterai untuk EV.
"Setelah penurunan yang diperkirakan sebesar 21% pada 2024 secara tahunan atau year on year [yoy], harga nikel diperkirakan pulih sebesar 3% pada 2025 dan 6% pada 2026," tulis tim peneliti Bank Dunia dalam laporannya.
Bank Dunia mencatat rerata harga nikel berada di level US$16.627/ton pada Januari—Maret 2024. Harganya sempat menguat ke level US$18.416/ton pada April—Juni 2024 dan melemah kembali ke level US$16.235/ton pada Juli—September 2024.
Institusi tersebut juga melaporkan harga nikel turun 12% secara quarter to quarter (qtq) pada kuartal III-2024, tetapi sebagian pulih dalam beberapa pekan terakhir menyusul langkah-langkah stimulus ekonomi di China.
(mfd/wdh)