“Masalahnya Australia enggak bisa. Mereka biaya produksinya sudah US$14.000-an, mati [tambang nikelnya]. Nah, begitu Australia nikelnya mati, suplai globalnya kurang. Kalau suplainya kurang kan cenderung mengerek harga ke atas. Ini Filipina juga udah pada mati semua [tambang nikelnya] . Di Eropa juga sudah pada mati semua karena cash cost-nya mereka tinggi,” kata Dilo usai kegiatan MIND ID Commodities Outlook, dikutip Rabu (27/11/2024).
Di sisi lain, Dilo menyebut permintaan nikel dunia ke depannya akan meningkat untuk kebutuhan kendaraan listrik dan baja nirkarat, sehingga posisi Indonesia sebagai produsen terbesar pun diuntungkan. Sementara itu, ketersediaan nikel di dunia berkurang imbas negara lain menutup tambangnya.
“Makanya itu tadi analisis saya, kalau dari sisi nikel mungkin akan ada growth [pertumbuhan] pada tahun depan harganya,” jelas Dilo.
International Energy Agency (IEA) memrediksi tiga produsen nikel terbesar pada 2030 dari sisi pertambangan a.l. Indonesia (62%), Filipina (8%), dan New Caledonia (6%). Sementara itu, dari sisi pemurnian atau smelter adalah Indonesia (44%), China (21%) dan Jepang (6%).
Harga nikel ambruk sepanjang 2023, dengan rerata tahun lalu di level US$21.688/ton atau turun 15,3% dari US$25.618/ton. Namun, harga makin merosot di bawah US$20.000/ton tahun ini.
Nikel ditutup menguat 1,46% menjadi US$16.200/ton pada penutupan perdagangan di LME kemarin.
Adapun, Bank Dunia sebelumnya memperkirakan harga nikel menguat secara anual; masing-masing 3% pada 2025 dan 6% pada 2026, setelah anjlok dari rekor tertingginya pada 2022.
"Setelah penurunan yang diperkirakan sebesar 21% pada 2024 secara tahunan atau year on year [yoy], harga nikel diperkirakan pulih sebesar 3% pada 2025 dan 6% pada 2026," tulis tim peneliti Bank Dunia dalam laporan Commodity Market Outlook terbarunya.
Bank Dunia mencatat rerata harga nikel berada di level US$16.627/ton pada Januari—Maret 2024. Harganya sempat menguat ke level US$18.416/ton pada April—Juni 2024 dan melemah kembali ke level US$16.235/ton pada Juli—September 2024.
Institusi tersebut juga melaporkan harga nikel turun 12% secara quarter to quarter (qtq) pada kuartal III-2024, tetapi sebagian pulih dalam beberapa pekan terakhir menyusul langkah-langkah stimulus ekonomi di China.
BHP Angkat Tangan
Belum lama ini, pimpinan BHP Group Australia—perusahaan tambang terbesar di dunia — memperingatkan bahwa Negeri Kanguru tidak lagi dapat bergantung pada pasar ekspor pertambangan tradisionalnya lantaran tidak siap menghadapi era baru persaingan produksi nikel berbiaya rendah.
"Di dunia yang terus berubah ini, ada banyak pesaing yang agresif dalam mengejar pangsa pasar dan teknologi yang membuka biaya pasokan yang lebih rendah," kata Presiden BHP Australia Geraldine Slattery dalam pidatonya di Brisbane, Senin (18/11/2024), dikutip Bloomberg.
"Pergeseran di pasar nikel menggambarkan kisah ini dengan sangat baik pada masa lalu. Bagi BHP, hal ini mengakibatkan keputusan yang sulit, tetapi perlu untuk menangguhkan sementara operasi Western Australia Nickel kami."
Keluhan penambang di luar negeri ihwal persaingan yang sulit melawan komoditas mineral logam—khususnya nikel — yang diproduksi dengan biaya rendah oleh negara seperti Indonesia bukan pertama kali ini dilontarkan.
Awal tahun ini, LME dibanjiri desakan oleh banyak perusahaan tambang Barat untuk membedakan klasifikasi antara 'nikel hijau' dan nikel biasa dalam perdagangan komoditas logamnya.
Penambang-penambang global menilai nikel murah yang diproduksi di Indonesia telah merusak harga pasar nikel premium, yang diproduksi dengan ongkos lebih mahal lantaran menggunakan sistem dan teknologi ramah lingkungan.
Namun, LME sebagai pengelola pasar logam barometer dunia justru memberi sinyal bahwa pasar 'nikel hijau' atau disebut juga 'nikel premium' atau green nickel masih belum sanggup menyaingi produksi logam sejenis dari China atau Indonesia.
Dalam catatan atau notice yang diterbitkan pada Maret, LME menegaskan pasar ‘nikel hijau’ saat ini masih terlalu kecil untuk bisa menggaransi kontrak berjangka mereka sendiri.
“LME yakin pasar ‘nikel hijau’ belum cukup besar untuk mendukung semangat memperdagangkan kontrak berjangka hijau khusus. Pelaku pasar telah menyatakan kekhawatirannya akan hal itu dan masih terdapat perdebatan pasar yang signifikan mengenai bagaimana mendefinisikan ‘hijau’,” papar bursa logam barometer dunia itu.
Orang terkaya di Australia, Andrew Forrest, bahkan mendesak LME untuk membedakan klasifikasi antara nikel "kotor" dan "bersih" dalam perdagangan logamnya. Pernyataan tersebut dibuat setelah bisnis logam pribadinya mengumumkan penutupan tambang baru-baru ini.
Forrest menambahkan, beberapa perusahaan menggunakan baterai dari nikel murah yang ditambang di Indonesia, yang dikenal dengan jejak emisi tinggi dan standar lingkungan yang dipertanyakan.
"Anda ingin punya pilihan untuk membeli nikel bersih jika Anda bisa," kata Forrest. "Jadi, LME harus membedakan mana yang kotor dan yang bersih. Keduanya adalah produk yang berbeda, dan memiliki dampak yang sangat berbeda."
(wdh)