Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya memastikan bakal terus mengupayakan proyek penghiliran atau hilirisasi batu bara ke depannya, meski progresnya nyaris mandek pada periode pemerintahan sebelumnya.
Bahlil memastikan eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), yang mendapatkan perpanjangan menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), wajib melakukan hilirisasi batu bara.
Akan tetapi, produk akhir hilirisasi batu baranya tidak wajib berupa DME, yang selama ini digadang-gadang sebagai pengganti impor liquefied petroleum gas (LPG). Walakin, pemerintah tetap mengupayakan terdapat proyek hilirisasi batu bara menjadi DME.
"Salah satu program ke depan yang akan kita dorong sebagai bentuk hilirisasi daripada batu bara. Itu diupayakan terus. Wajib hilirisasi, tetapi tidak mesti DME, kami usahakan satu di antara itu," ujar Bahlil saat ditemui di kantornya, di Jakarta Pusat, awal bulan ini.
Keekonomian Tak Setimpal
Di sisi lain, Penasihat Khusus Presiden urusan Energi, Purnomo Yusgiantoro mengatakan netback dari DME, sebagai produk akhir dari hilirisasi batu bara, tidak bisa bersaing dengan LPG yang berasal dari impor dan mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Sekadar catatan, nilai netback adalah probabilitas harga tertinggi yang bersedia dibayar konsumen atau pembeli untuk mendapatkan sumber energi tertentu.
Hal tersebut yang pada akhirnya melandasi hengkangnya investor asal Amerika Serikat (AS), Air Products & Chemical Inc (APCI), pada proyek penghiliran batu bara menjadi DME oleh PTBA, yang menyebabkan megaproyek substitusi impor LPG itu terkatung-katung hingga saat ini.
“Ada satu studi, kenapa kok [APCI] pull out di Sumatra Selatan? Dihitung netback. Dihitung kalah [bersaing dengan LPG impor]. Kecuali harga batu bara di itu US$15/ton. Kalau ini US$15 dia compatible dengan harga LPG,” ujar Purnomo dalam agenda Tinjauan Kebijakan Mendukung Transisi Energi dan Target Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Baru, akhir Oktober.
Purnomo menggarisbawahi perbandingan antara LPG dengan DME—yang sebenarnya juga digadang-gadang sebagai pengganti LPG — tidak berada pada level yang sama atau apple to apple.
Untuk diketahui, proyek strategis nasional (PSN) gasifikasi batu bara menjadi DME yang memiliki taksiran nilai investasi US$2,1 miliar (sekitar Rp33,46 triliun asumsi kurs saat ini) tersebut diharapkan menjadi program mercusuar untuk menekan beban subsidi LPG senilai Rp7 triliun per tahun.
Proyek mercusuar DME oleh PTBA dan APCI itu sejatinya direncanakan selama 20 tahun di wilayah Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatra Selatan. BACBIE akan berada di lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.
Dengan mendatangkan investasi asing dari APCI senilai US$2,1 miliar, proyek itu awalnya digadang-gadang sanggup memenuhi kebutuhan 500.000 ton urea per tahun, 400.000 ton DME per tahun, dan 450.000 ton polipropilen per tahun.
(wdh)