Dia mengklaim, Tom Lembong justru berhasil menunjukkan dirinya menjalani semua tugas dan kewenangannya sebagai menteri perdagangan sesuai dengan aturan dan prosedur birokrasi pada Agustus 2015-Juli 2016. Dia pun menyoroti sejumlah pelanggaran prosedural saat jaksa menetapkan kliennya sebagai tersangka.
"Tidak ada [Bukti kuat], jadi baik itu saksi apapun yang ada kaitan langsung ke Pak Tom; apa lagi sesuai dengan keterangan dari beberapa ahli," kata Amir.
Selain itu, dia menyoroti keterangan saksi ahli yang diajukan kejaksaan agung yang berasal dari BPKP. Dalam persidangan, saksi tersebut pun menjelaskan pentingnya perhitungan kerugian negara dalam sebuah kasus korupsi sebelum aparat penegak hukum melanjutkannya dengan penetapan tersangka.
Apa lagi, kata Amir, saat aparat ingin menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor. Keberadaan kerugian negara menjadi pintu masuk adanya tindak pidana korupsi oleh seorang pejabat negara, meski belum ditemukan bukti penerimaan uang atau jasa terhadap pejabat tersebut.
"Sampai saat ini mereka [jaksa] belum memiliki audit kerugian negara, baru asumsi. Itu juga tadi dalam kesimpulan mereka," ujar dia.
"Belum ada [kerugian negara] bagaimana orang bisa dijadikan tersangka dengan perkara korupsi? Sehingga kami masih optimis bahwa permohonan kami akan dikabulkan."
Toh, rekan Amir, Dodi Abdulkadir juga menilai adanya efek buruk jika hakim PN Jakarta Selatan tak menggugurkan status tersangka Tom Lembong. Putusan hakim tersebut bisa menjadi preseden buruk tentang penanganan kasus korupsi oleh aparat penegak hukum terhadap pejabat dan mantan pejabat negara.
"Kalau [praperadilan ini] ditolak, maka seluruh menteri harus hati-hati. Seluruh menteri bisa dipidanakan," kata dia.
"[Setiap menteri mengeluarkan kebijakan] artinya satu kaki sudah ada di penjara."
(red)