Logo Bloomberg Technoz

“Kalau tidak ada kompetisi, tidak akan terjadi [inovasi]. Walaupun terjadi pun masih lama, nanti saja. Karena mereka [Pertamina] tidak ada dorongan untuk bertransformasi, untuk berinovasi. Itu yang kita takutkan kalau kompetisinya berkurang,” ujar Moshe.

BBM Bersubsidi

Di sisi lain, Moshe pun memaklumi alasan pemerintah memfasilitasi Pertamina khususnya dalam menjual BBM bersubsidi.

Dia mencontohkan saat Presiden Ke-7 RI Joko Widodo mencanangkan program BBM Satu Harga, tujuannya tidak lain agar pemerintah bisa mengontrol dan mendorong program tersebut berjalan dengan baik di bawah kendali BUMN alih-alih adanya peran pemain asing.

Walaupun ada pemain asing menjual BBM bersubsidi seperti BP-AKR, harganya tidak boleh lebih rendah dibandingkan dengan yang dijual di SPBU Pertamina. 

“Jadi kalau mengontrol siapa yang menerima subsidi, ini akan jauh lebih mudah kalau produk yang disubsidikan itu dipegang oleh suatu entitas. Apalagi entitasnya ya punya pemerintahnya sendiri,” tutur Moshe. 

Di sisi lain, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) membantah kabar perusahaan asing sulit menghadapi persaingan bisnis SPBU di Indonesia.

Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengungkapkan bisnis SPBU di Indonesia bersifat terbuka bagi siapapun, sehingga perusahaan dapat masuk dan keluar untuk berbisnis menjual BBM.

“Jadi menurut saya itu murni urusan bisnis,” kata Saleh saat dihubungi.

Menurut Saleh, pemerintah selaku otoritas berlaku adil dan memberikan ‘lapangan bermain’ yang setara kepada seluruh pelaku bisnis hilir migas di Tanah Air. Setiap pebisnis memiliki kesempatan dan aturan yang sama untuk berhasil.

“Masing-masing perusahaan punya pertimbangan strategis sendiri dalam bisnis mereka termasuk di sektor hilir migas,” tutur Saleh. 

SPBU Shell di Jakarta, Indonesia./Bloomberg-Dimas Ardian

Untuk diketahui, masuknya SPBU selain milik Pertamina di Indonesia tidak terlepas dari adanya reformasi Undang-Undang Minyak dan Gas (Migas) dengan berlakunya Undang-undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

UU tersebut memberikan liberalisasi di sektor migas Tanah Air, sehingga menjadikan perusahaan pelat merah Indonesia harus berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan migas lainnya secara sehat dan wajar, termasuk di bisnis hilir migas.

Tercatat, Shell muncul sebagai perusahaan migas asing yang pertama kali menantang dominasi Pertamina di bisnis SPBU Tanah Air. SPBU Shell di Indonesia meluncur pertama kali pada 1 November 2005. Selain Shell, beberapa SPBU asing yang pernah dan masih beroperasi di RI a.l. Total, Petronas, Vivo, BP-AKR, dan ExxonMobil.

Namun, raksasa migas Eropa itu belakangan ini membetot perhatian publik setelah disebut-sebut berencana menutup bisnis SPBU-nya di Indonesia.

Desas-desus penutupan tersebut kian santer setelah Shell menjual kilang legendarisnya di Singapura kepada PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) melalui perusahaan patungan bersama Glencore.

Belum diketahui apakah kabar rencana penutupan SPBU di Indonesia tersebut akan dieksekusi dalam waktu dekat, atau jangka menengah/panjang.

Namun, pada Juni 2024, perusahaan memang sudah menutup 9 SPBU-nya di Sumatra, tidak berselang lama setelah Shell Plc di tingkat global mengumumkan niat untuk menutup 1.000 jaringan SPBU-nya di berbagai negara hingga 2025.

Vice President Corporate Relations Shell Indonesia Susi Hutapea membantah kabar yang beredar saat ini bahwa Shell akan menutup seluruh SPBU-nya di Indonesia.

"Shell Indonesia menginformasikan bahwa informasi yang beredar terkait dengan rencana Shell menutup seluruh SPBU di Indonesia adalah tidak benar. Kami tidak dapat berkomentar atas spekulasi yang terjadi di pasar," kata Susi kepada Bloomberg Technoz, Minggu (24/11/2024).

(mfd/wdh)

No more pages