"Shell Indonesia menginformasikan bahwa informasi yang beredar terkait dengan rencana Shell menutup seluruh SPBU di Indonesia adalah tidak benar. Kami tidak dapat berkomentar atas spekulasi yang terjadi di pasar," kata Susi kepada Bloomberg Technoz, Minggu (24/11/2024).
Lantas, bagaimana sejarah Shell masuk ke Indonesia hingga akhirnya berbisnis SPBU?
Royal Dutch Shell Plc pada awalnya didirikan di Den Haag pada 1890. Akan tetapi, riwayatnya di Indonesia dimulai sejak 1884, ketika warga Belanda, Aeilko Jans Zijlker menemukan harta karun minyak di Sumatra.
Dikutip dari situs resmi Shell, Zijlker mengebor sumur pertamanya di Sumatra setelah memperoleh izin dari Sultan Langkat. Pengeboran itu ternyata menghasilkan sumur kering.
Namun, setahun setelahnya, dia menggali Telaga Tunggal 1 di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara dan menemukan minyak di wilayah tersebut; sebelum akhirnya dieksploitasi untuk produksi dalam kuantitas komersial.
Penemuan lebih dari 100 tahun yang lalu tersebut pada akhirnya mengarah pada pembentukan Royal-Dutch Petroleum.
Pada pergantian abad, minyak telah ditemukan di Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa Tengah dan Timur, serta Kalimantan Timur, dan kilang telah didirikan di setiap daerah. Saat itu, ada 18 perusahaan yang mengeksplorasi atau memproduksi minyak di Indonesia.
Tinggalkan Blok Masela hingga Bikin Geram Pemerintah
Pada era modern, Shell pernah terlibat di industri hulu migas Indonesia sebagai pemegang hak partisipasi atau participating interest (PI) proyek Abadi Masela; ladang gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) raksasa di wilayah Tanimbar, Maluku.
Di Blok Masela, Shell bersama Inpex Corporation (Inpex) sebelumnya setuju untuk membangun fasilitas LNG dengan kapasitas tahunan sebesar 9,5 juta ton dalam kontrak pemulihan biaya senilai sekitar US$20 miliar.
Akan tetapi, pada 2020, Shell memutuskan untuk keluar dari proyek tersebut dengan menjual 35% hak partisipasinya seharga US$2 miliar.
Upaya Shell untuk melakukan divestasi dari Blok Masela sejak itu berlarut-larut, sehingga menciptakan ketidakpastian seputar kelanjutan pengembangan lapangan Abadi yang menyimpan 360 miliar meter kubik gas itu.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada akhir Mei 2023 bahkan pernah mengungkapkan kegeramannya terhadap Shell, yang akhirnya memutuskan untuk hengkang dari proyek Abadi Masela.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, yang menjabat saat itu, mengatakan kekecewaan pemerintah terhadap Shell tidak hanya diakibatkan oleh keputusan hengkang tersebut. Pemerintah geram lantaran raksasa migas yang bermarkas di Inggris itu mengulur negosiasi pengalihan PI di Blok Masela ke PT Pertamina (Persero).
“[Blok] Masela ini masih progres, tetapi begini [progresnya] itu kan agak lama. Jadi, pemerintah itu kehilangan opportunities-nya. Akhirnya Pak Menteri [Menteri ESDM saat itu, Arifin Tasrif] menyampaikan kecewa,” katanya saat ditemui di Kompleks Parlemen, akhir Mei 2023.
Atas hal tersebut, pemerintah akhirnya meninjau kembali rencana pengembangan atau plan of development (PoD) yang telah disusun operator Blok Masela. Salah satu alasan revisi PoD adalah rencana penerapan teknologi penangkapan karbon (carbon capture) untuk menekan emisi di proyek hulu migas itu.
"Kita lihat PoD-nya gimana kok bisa lama sekali. Soal harga itu urusan bisnis, saya enggak bisa menyatakan, tetapi pemerintah kecewa karena terlalu lama," ujar Tutuka.
Pada Juli 2023, Pertamina dan Petroliam Nasional Berhad (Petronas) akhirnya resmi mengambil alih 35% saham Shell di Blok Masela. Ketiganya telah menandatangani perjanjian jual beli untuk akuisisi tersebut.
Pertamina akhirnya memiliki 20% saham melalui PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dan 15% oleh Petronas Masela Sdn Bhd. Adapun, 65% porsi lainnya masih dipegang oleh Inpex.
Masuk ke Bisnis Hilir di SPBU dan Pelumas
Di lini hilir migas, hadirnya Shell di Indonesia tidak lepas dari adanya reformasi Undang-Undang Minyak dan Gas (Migas) dengan berlakunya Undang-undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
UU tersebut memberikan liberalisasi di sektor migas Tanah Air, sehingga menjadikan perusahaan pelat merah Indonesia harus berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan migas lainnya secara sehat dan wajar.
SPBU Shell di Indonesia pada akhirnya meluncur pertama kali pada 1 November 2005. Lokasinya ditempatkan di Lippo Karawaci, Tangerang, Banten.
Shell lantas membuka kembali SPBU baru yang ditempatkan di Jalan S. Parman, Slipi, Jakarta pada 1 Maret 2006. Shell juga menjadi SPBU asing pertama yang beroperasi di Indonesia.
Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan SPBU Shell makin pesat. Shell telah mengoperasikan 215 SPBU di Indonesia; yaitu di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatra Utara.
Namun, pada 1 Juni 2024, Shell Indonesia sudah menutup operasional 9 SPBU di Sumatra Utara.
Langkah itu selaras dengan pengumuman Shell Plc yang akan menutup 1.000 SPBU-nya di berbagai negara hingga 2025. Penutupan ini seiring dengan meningkatnya permintaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).
"Kami berencana mendivestasikan 500 SPBU, termasuk usaha patungan, setiap tahunnya pada 2024 dan 2025," kata Shell Plc dalam laporan Energy Transition Strategy 2024, seperti dikutip Bloomberg.
Shell Plc mengalami penurunan margin dari bisnis kilangnya pada kuartal III-2024 dan diperkirakan mengalami kerugian dalam bisnis petrokimianya; sebuah kinerja yang mencerminkan pelemahan ekonomi global yang lebih luas.
Margin yang diperoleh dari penyulingan minyak mentah anjlok 29% dalam periode tersebut menjadi US$5,50 per barel, kata Shell Plc dalam sebuah pernyataan.
Di Indonesia sendiri, jenis bahan bakar minyak (BBM) yang disediakan di SPBU Shell a.l. Shell Super, Shell V-Power, Shell V-Power Nitro+, Shell V-Power Diesel, dan Shell Diesel Extra. Harga BBM yang dijual di SPBU Shell berbeda-beda menyesuaikan jenisnya.
Harga BBM Shell Super per November 2024 adalah Rp12.290/liter. Lalu, Shell V-Power dijual seharga Rp13.310/liter dan Shell Diesel Extra dijual seharga Rp13.170/liter.
Harga BBM Shell termahal adalah Shell V-Power Nitro+ yang dijual seharga Rp13.540/liter. Harga-harga tersebut berlaku untuk penjualan di Pulau Jawa.
Selain SPBU, bisnis hilir migas Shell di Indonesia juga mencakup pabrik pelumas. Shell membangun dan mengoperasikan pabrik pelumas kelas dunia (Lubricants Oil Blending Plant) sejak 2015 di Marunda, Bekasi.
Pabrik pelumas tersebut memiliki kapasitas produksi 136 juta liter per tahun. Pada 2020, Shell Indonesia juga melakukan perluasan pabrik menjadi 9 hektare untuk menggandakan kapasitas produksi sebanyak 300 juta liter produk pelumas per tahun.
Produk pelumas seperti Shell Helix, Shell Rimula, Shell Spirax, dan Shell Advance juga telah mengantongi sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) dari Balai Sertifikasi Industri (BSI).
Adapun, Shell menjadi perusahaan energi internasional pertama yang mendapatkan sertifikasi tersebut.
(wdh)