Bloomberg Technoz, Jakarta - Bank pelat merah, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) mengakui, bukan perkara mudah membatasi penyaluran kredit ke sektor batu bara. Meski demikian, hal ini tetap perlu dilakukan guna mendukung program emisi nol bersih atau net zero emissions pada 2060.
Bank Mandiri (BMRI) dalam posisi dilematis. Di satu sisi, masih ada peluang penyaluran kredit yang besar ke sektor batu bara, mengingat permintaan komoditas ini juga masih tinggi.
Di sisi lain, inisiatif untuk mengurangi emisi karbon membatasi Bank Mandiri menyalurkan kredit secara langsung. Sehingga, Bank Mandiri (BMRI) perlu mencari peluang lain tanpa perlu lebih dulu meninggalkan sektor batu bara sepenuhnya.
Senior Vice President Bank Mandiri, Freddy Iwan S. Tambunan mengatakan, perusahaan saat ini mulai memperbanyak target penyaluran kredit ke sektor pendukung batu bara untuk menyiasati dilema tersebut.
“Melakukan pembiayaan di heavy equipment dan untuk infrastruktur sektor batu bara, baik di tambang maupun di hilir, dan juga memberikan merger and acquisition financing,” ujar Freddy dalam kegiatan Minerba Expo, Senin (25/11/2024).
Meski masih cukup besar, portofolio kredit Bank Mandiri (BMRI) di sektor non-renewable energy seperti batu bara mulai berkurang.
Pada kuartal III-2023, angkanya sebesar Rp24 triliun. Kemudian, di kuartal III-2024, angka penyaluran kreditnya turun menjadi Rp20 triliun.
Pada saat yang sama, penyaluran kredit ke sektor renewable energy perlahan naik menjadi Rp10 triliun dari sebelumnya Rp9 triliun.
Dari situ terlihat, transisi energi hijau sejatinya juga memunculkan peluang baru bagi perusahaan. Cuma memang, tantangannya masih besar, sehingga pertumbuhan penyaluran kredit juga masih terbatas.
Misal, ke sektor nikel yang membutuhkan smelter. Pembangunan smelter juga membutuhkan pembiayaan dari bank.
"Kami juga lihat, jumlah smelter dari tahun ke tahun, mulai dari 2012 terus bertambah. Namun, belum sesuai dengan target yang diharapkan karena yang menghambat [pembangunan smelter] juga dari sisi pendanaan," jelas Freddy.
"Jadi, apa, sih, opportunity -nya? Dengan cadangan nickel kita yang mencapai 45% cadangan global, maka pembiayaan di sektor nikel ini juga memberikan harapan bagi kami, bisa mendukung bertumbuhnya industri pertambangan nikel."
Cuma memang, hal itu bukan perkara mudah. Peralihan penyaluran kredit imbas dari transisi energi hijau juga memiliki tantangan.
"Ancamannya adalah, tidak adanya kepastian atas off taker dari bijih nikel yang produksinya bertambah. Sehingga, kami perlu melakukan pembiayaan close loop di pertambangan nikel," tutur Freddy.
Belum lagi, soal fluktuasi harga dan kebijakan yang berubah-ubah seperti soal larangan ekspor nikel. Hal ini menambah ketidakpastian di sektor nikel, sehingga turut mempengaruhi penyaluran kredit ke sektor ini.
Meski begitu, Bank Mandiri tetap mengoptimalkan penyaluran kredit di tengah tantangan yang menghadang.
"Jadi, setiap ada pertumbuhan, kami jaga pembiayaan antara yang green dengan yang tidak green. Nah, bagaimana untuk pembiayaannya? Kami berikan pembiayaan mulai dari end buyer dan sektor pendukung industri pertambangan, seperti trading company, penambangnya, mining contractor, hingga supplier."
(fik/dhf)