Dengan inflasi yang terus meningkat, kata Yusuf, gaya hidup layak membutuhkan pengeluaran dua hingga tiga kali lipat dari standar BPS, yang meliputi kemampuan untuk menabung, memiliki akses kesehatan yang layak, dan mencadangkan dana untuk pendidikan atau kebutuhan mendesak lainnya.
"Meskipun angka ini mungkin dihasilkan melalui metodologi statistik yang sahih, saya melihat ada kebutuhan mendesak untuk penyesuaian," ujarnya.
Perhitungan standar pengeluaran, kata Yusuf, perlu memperhitungkan dinamika ekonomi dan sosial yang khas di kota metropolitan. Realitas biaya hidup yang tinggi di kota besar jelas menunjukkan bahwa pendekatan alternatif yang lebih kontekstual dan realistis diperlukan agar standar ini benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat urban.
Sebelumnya, BPS menggarisbawahi angka tersebut merupakan pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan dan bukan batas minimal standar hidup layak di Indonesia.
Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik (DAPS) BPS Muchammad Romzi menjelaskan pengeluaran riil per kapita merupakan biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi setiap penduduk selama setahun yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli.
Dalam kaitan itu, paritas daya beli dilakukan berdasarkan 96 komoditas kebutuhan pokok, yang terdiri dari barang pokok, rumah, listrik, air PAM, liquefied petroleum gas (LPG) dan lain sebagainya.
"Penghitungan daya beli mengacu pada Jakarta Selatan, sementara tahun rujukan adalah 2012. Tahun rujukan digunakan agar bisa melihat perbandingan pergerakan dari waktu ke waktu dan menghilangkan efek inflasi," ujar Romzi kepada Bloomberg Technoz, dikutip Senin (25/11/2024).
Menurut Romzi, hal ini bertujuan agar rata-rata pengeluaran per kapita bisa dibandingkan antar tahun. Sebab, rata-rata pengeluaran dari survei sosial ekonomi nasional (susenas) tidak bisa dibandingkan antar tahun bila langsung digunakan karena masih ada pengaruh inflasi.
(dov/lav)