Bila melihat lebih dalam di kelompok Guru Honorer/Kontrak, terlihat bahwa 74% diantaranya bahkan memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan, serta sebanyak 20,5% masih berpenghasilan di bawah Rp500.000 per bulan.
“Nominal tersebut masih di bawah Upah Minimum Kabupaten-Kota (UMK) 2024 terendah Indonesia, yaitu Kabupaten Banjarnegara dengan UMK sebesar Rp2.038.005. Ini artinya, di daerah dengan biaya hidup terendah sekalipun para guru terutama guru honorer masih harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,” tutur Anwar.
Para guru, seperti terungkap dalam riset tersebut, memiliki jumlah tanggungan rata-rata sebanyak tiga orang anggota keluarga. Sebanyak 89% guru merasa bahwa penghasilan dari mengajar tersebut pas-pasan bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup, hanya 11% saja yang mengaku cukup dan ada sisa.
Dengan tingkat penghasilan yang rendah, berbagai upaya dilakukan para guru untuk menutupi kebutuhan hidup. Memiliki pekerjaan sampingan menjadi salah satu jalan keluar.
“Dari survei ini terlihat 55,8% guru memiliki penghasilan tambahan dari pekerjaan lain. Namun penghasilan tambahan inipun tidak signifikan, mayoritas guru yang memiliki sampingan tersebut hanya mendapat kurang dari Rp500.000,” ucap Anwar.
Terdapat pekerjaan sampingan terfavorit yang dipilih oleh guru yaitu mengajar privat atau bimbel (39,1%), berdagang (29,3%), bertani (12,8%), buruh (4,4%), konten kreator (4%), dan pengemudi ojek daring (3,1%).
Akibat minim pendapatan dari pekerjaan utama sebagai guru yang mengharuskan para guru memiliki pekerjaan sampingan, riset juga mendapati bila banyak guru yang terpaksa berutang untuk menutupa kebutuhan hidup. Tercatat 79,8% guru mengaku memiliki utang.
“Para guru mengaku memiliki utang kepada bank/BPR sebanyak 52,6%, keluarga atau kerabat 19,3%, Koperasi Simpan Pinjam 13,7%, teman atau tetangga 8,7%, serta pinjaman online 5,2%,” ungkap Anwar.
Ketika dalam kondisi terdesak oleh suatu kebutuhan 56,5% guru mengaku pernah menjual atau menggadaikan barang berharga yang dimilikinya. Adapun barang yang digadaikan itu antara lain emas perhiasan (38,5%), BPKB kendaraan (14%), sertifikat rumah/tanah (13%), motor (11,4), mas kawin (4,3%), dan SK PNS (3,9%).
“Dengan kondisi kesejahteraan guru yang rendah, kami melihat tekad guru Indonesia sangat membanggakan ini terbaca dari 93,5% responden berkeingginan untuk tetap mengabdi dan memberikan ilmu sebagai guru hingga masa pensiun walau kesejahteraan sebagian besar mereka jauh dari layak,” kata Anwar.
Asep Hendriana, CEO GREAT Edunesia Dompet Dhuafa, menilai, pemerintah baik pusat maupun daerah perlu meningkatkan perhatian pada isu kesejahteraan guru. Asep juga memandang perlu ada lembaga-lembaga yang memang mendampingi guru dalam meningkatkan kualitas pembelajarannya lewat pelatihan, pendampingan dan program capacity building lainnya.
Mengacu Data Pokok Pendidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, pada semester ganjil periode 2024/2025, Indonesia memiliki 3.426.137 orang guru. Jumlah tersebut terdiri atas 967.420 guru laki-laki dan 2.458.717 guru perempuan.
Guru Sekolah Dasar (SD) adalah yang terbanyak mencapai 1.508.620 orang, disusul oleh guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 682.571 guru. Jumlah tersebut cukup jauh dengan angka guru di Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 346.376 orang.
Persebaran guru di Indonesia juga belum merata. Jumlah guru terbanyak ada di Provinsi Jawa Barat, mencapai 480.635 orang. Bandingkan dengan jumlah guru di Provinsi Papua Pegunungan yang hanya 7.777 orang. Bahkan total jumlah guru di Papua hanya 37.329 orang.
Pemerintah Presiden Prabowo Subianto melalui Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof Abdul Mu'ti sempat menyinggung soal adanya tambahan gaji para guru sebesar Rp2 juta.
Mu'ti menekankan bahwa yang akan mendapatkan penambahan gaji dalam besaran tersebut tidak semua guru dan harus memenuhi kualifikasi agar tak saling berebutan.
"Ada (kriteria) dong, ada kalau enggak rebutan nanti. Jadi jangan sampai yang berhak, tidak menerima, yang tidak berhak malah menerima. Ini kan sangat bergantung dari keakuratan," kata Mu'ti.
Lebih lanjut Mu'ti mengatakan bahwa skema penambahan gaji Rp2 juta untuk para guru memang akan direncanakan terjadi pada tahun 2025.
Guru yang ditujukan ialah yang terutama berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun guru honorer. Saat ini pihaknya tengah mendata jumlah guru yang ada di Indonesia.
"Di skema yang kita ajukan untuk 2025 itu untuk guru yang berstatus ASN terutama yang sudah bersertifikasi baik guru PNS maupun guru PPPK. Tapi maksud saya jumlah gurunya sekarang masih kita data kembali," jelas Mu'ti.
Skor Literasi dan Numerasi
Selain isu kesejahteraan guru dan masih belum meratanya tenaga guru di pelosok Indonesia, dunia pendidikan RI saat ini juga masih menghadapi isu kemerosotan kemampuan literasi dan numerasi anak didik.
Skor Programme for International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian Pelajar Internasional untuk Indonesia pada 2022 mencatat penurunan ke level terendah sejak tahun 2000, utamanya untuk kemampuan literasi atau membaca (reading), membuat target capaian yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 semakin jauh tak tercapai.
Skor PISA pelajar di Indonesia juga masih jauh lebih rendah dibanding rata-rata dunia, bahkan ASEAN.
Skor membaca PISA Indonesia pada 2022 turun 12 poin menjadi 359 dari tahun 2018 yang skornya 371. Level itu menjadi yang terendah sejak Indonesia mengikuti penilaian PISA pada tahun 2000. Sementara dalam RPJMN ditetapkan target skor membaca di angka 392.
Begitu juga skor matematika yang turun 13 poin jadi 366 dari tadinya di angka 379, terendah sejak 2002 ketika skornya 360.
Capaian itu juga semakin menjauh dari target RPJMN yang ditetapkan 388 untuk skor matematika. Untuk sains, skor PISA Indonesia pada 2022 juga turun 13 poin menjadi 383, terendah sejak 2011, dan jauh di bawah target skor di RPJMN ditetapkan di 402.
"Hasil rata-rata tahun 2022 turun dibandingkan tahun 2018 dalam bidang matematika, membaca, dan sains," demikian dikutip dari laman OECD.
Skor PISA Indonesia masih jauh di bawah rata-rata dunia. Perbandingannya, untuk matematika yang menjadi tema utama PISA 2022, anak usia 15 tahun di Indonesia memperoleh skor 366 poin dibandingkan rata-rata 472 poin negara-negara OECD.
Adapun skor membaca yang 359, masih di bawah rata-rata dunia 476. Sedangkan sains dengan skor 383 poin, ketika rata-rata dunia mencapai 485 poin.
"Di Indonesia, 43% siswa (bagian terbesar) berada pada kuintil internasional terbawah dalam skala sosio-ekonomi, yang berarti bahwa mereka termasuk siswa yang paling kurang mampu dalam mengikuti tes PISA pada tahun 2022. Nilai rata-rata mereka dalam matematika adalah 354 skor poin," jelas OECD.
Secara umum, mayoritas negara memang mengalami penurunan skor rata-rata terutama untuk skor matematika dan membaca. Sementara skor sains terbilang stabil.
Bukan hanya di dunia, di kawasan Asia, skor PISA Indonesia juga tergolong rendah. Indonesia hanya lebih unggul bila dibandingkan Filipina dan Kamboja.
Sementara dibanding Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, bahkan Vietnam. Dibanding Vietnam misalnya, skor matematika pelajar di Indonesia hanya 366 sementara Vietnam 489. Begitu juga untuk skor literasi membaca dan sains, Vietnam mengungguli Indonesia.
Mengacu pada Statistik Pendidikan 2023 yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik, kemajuan dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah besar. Sebagai gambaran, baru sekitar 27,38% anak usia 0-6 tahun di Indonesia yang tersentuh pendidikan prasekolah.
Sementara itu Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SD/Sederajat mencatat penurunan tahun ini menjadi 105,62% dari tadinya 106,27% pada 2022.
Sementara untuk APK jenjang di atasnya yakni SMP/Sederajat, SMA/Sederajat dan Perguruan Tinggi, mencatat kenaikan dibanding tahun sebelumnya. Walau ada kenaikan, akan tetapi capaiannya masih jauh dari target yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Kemendikbud 2020-2024.
(rui/aji)