"Kemudian melakukan penatagunaan antimikroba (PGA) melalui kegiatan strategis dan sistematis, mengoptimalkan penggunaan antimikroba secara bijak, baik kuantitas maupun kualitasnya. Lalu, mengembangkan dan meningkatkan fungsi laboratorium mikrobiologi klinik untuk pemeriksaan kultur dan uji kepekaan, serta laboratorium penunjang lainnya yang berkaitan dengan penanganan penyakit infeksi," jelasnya.
Kedua, mencegah penyebaran mikroba resisten melalui peningkatan ketaatan terhadap prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pedoman PPI.
"Hanya 5% dari 3.197 rumah sakit yang teregistrasi saat ini yang melakukan pelaporan AMR berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015 [pelaporan manual],” lanjut dr. Azhar.
Upaya lain mendorong pelaporan PPRA juga akan dilakukan melalui SIRS ONLINE yang sudah familiar untuk seluruh rumah sakit di Indonesia, tidak manual seperti saat ini. SIRS ONLINE merupakan aplikasi sistem pelaporan rumah sakit ke Kementerian Kesehatan.
Tantangan Kendalikan Resistensi Antimikroba
Menurut dr. Azhar, implementasi pelaksanaan PPRA di rumah sakit masih menghadapi tantangan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015 telah menekankan pentingnya mengatasi masalah dalam pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit.
Misalnya, ketersediaan fasilitas laboratorium mikrobiologi yang memadai di rumah sakit. Selain itu, komunikasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan PPRA juga perlu ditingkatkan.
Pelayanan pemeriksaan mikrobiologi ini sangat penting karena bertujuan memberikan informasi tentang ada atau tidaknya mikroba di dalam bahan pemeriksaan atau spesimen yang mungkin menjadi penyebab timbulnya proses infeksi.
Apabila terdapat pertumbuhan, dan mikroba tersebut dipertimbangkan sebagai penyebab infeksi, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan uji kepekaan mikroba terhadap antimikroba.
"PPRA belum sepenuhnya dijalankan oleh seluruh rumah sakit di Indonesia. Tantangan dari pelaksanaan PPRA ini di antaranya, tidak semua rumah sakit memiliki kemampuan pelayanan laboratorium mikrobiologi klinik," ucap dr. Azhar.
"Kendala terbesar adalah kurangnya dokter spesialis yang memiliki kompetensi melakukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan."
Tantangan selanjutnya, beberapa rumah sakit menyatakan pembayaran penyakit infeksi, termasuk infeksi karena resistensi antimikroba, ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berupa paket INA CBG’s. Sehingga, pemeriksaan laboratorium mikrobiologi dan laboratorium lain dalam menunjang pengobatan pasien infeksi menggerus biaya paket INA CBG's.
Sebagai upaya menghadapi tantangan dan kendala pengendalian AMR di rumah sakit, dr. Azhar menuturkan, saat ini Kementerian Kesehatan sedang melakukan beberapa program untuk mengatasi permasalahan kemampuan pelayanan laboratorium.
"Upayanya, yaitu melalui rujukan pemeriksaan laboratorium mikrobiologi ke rumah sakit pengampuan penyakit infeksi emerging yang sudah ditetapkan Menteri maupun melakukan rujukan ke laboratorium kesehatan masyarakat yang ada di setiap kabupaten/kota dan provinsi," tandasnya.
(dec/ros)