“Kalau SPBU [di Indonesia] memang karena didominasi Pertamina. Jadi [Shell] tidak berkembang. Referensi pemerintah ke Pertamina, makanya BBM bersubsidi oleh Pertamina itu membuat market share Pertamina 90%,” kata Moshe, dikutip Minggu (24/11/2024).
“Buat apa [SPBU] Shell di Indonesia, [kalau] tidak bisa tumbuh?"
Menurut Moshe, seiring dengan makin berkembangnya zaman, kualitas BBM Pertamina kian hari kian membaik. Berbeda dengan beberapa tahun ke belakang saat performa bahan bakar Shell lebih baik dibandingkan dengan Pertamina.
Fokus ke Hulu
Tidak hanya itu, Moshe berujar, Shell Plc di tingkat global memang memiliki strategi bisnis untuk mengurangi operasi di lini hilir atau downstream migas di wilayah Asia Tenggara. Shell akan fokus terhadap industri bagian hulu atau upstream.
Shell yang merupakan bagian Oil and Gas Climate Initiative (OGCI) berencana jorjoran mengurangi intensitas karbon dioksida (CO2) dari bagian produksi. Dia mencontohkan dari sebelumnya 100 barel menghasilkan 5 ton CO2 sekarang hanya menjadi 2,5 ton CO2.
“Intensitas ya, bukan overall. Ini seolah-olah mau kurangi dampak CO2 per barrel equivalent. Kalau baca laporan mereka berkurang secara overall, padahal naik terus produksi karena permintaan mereka salah satu kontributor terbesar itu sektor downstream. Ini kenapa Shell mau kurangi [SPBU] di Asia Tenggara. Dari sisi margin mending [fokus ke] upstream daripada downstream,” jelas Moshe.
“Satu sisi kurangi CO2 per barel ekuivalen, di sisi lain maintain profit margin di upstream, [dengan cara] kilang petrokimianya dijual.”
Saat dimintai konfirmasi, Vice President Corporate Relations Shell Indonesia Susi Hutapea tidak membantah maupun membenarkan kabar SPBU Shell Indonesia akan ditutup di Indonesia. Namun, dia menolak berkomentar lebih jauh ihwal desas-desus tersebut.
“Kami tidak dapat berkomentar atas spekulasi di pasar,” kata Susi kepada Bloomberg Technoz.
(red)