Pertama, dengan mengalihkan subsidi BBM dan listrik berbasis kuota atau barang menjadi BLT. Namun, Bahlil tidak menampik formulasi ini bakal membuat rumah sakit, sekolah, gereja, dan masjid tidak lagi mendapatkan subsidi listrik.
Selain itu, formulasi pertama bakal membuat transportasi umum tidak lagi mendapatkan subsidi BBM. Maka, kata Bahlil, timnya membuat formulasi kedua yaitu dengan mempertahankan subsidi berbasis barang atau kuota untuk fasilitas umum untuk menahan inflasi. Selebihnya, subsidinya tetap dialihkan menjadi BLT.
"Alternatif ketiga adalah kita lagi memformulasikan agar sebagian yang disubsidi barang itu bisa dinaikkan angkanya," ujarnya.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan harga jenis BBM penugasan khusus (JBKP) Pertalite dan jenis BBM tertentu (JBT) Solar sebenarnya tidak hanya dipengaruhi kebijakan subsidi saja.
Komponen-komponen lain mulai dari harga minyak dunia, biaya impor, biaya transportasi, nilai tukar, dan sebagainya juga memengaruhi struktur pembentukan harga kedua BBM tersebut.
Jika Solar dan Pertalite dilepas ke nilai keekonomiannya, akibat subsidi dan kompensasinya dialihkan untuk BLT, harga keduanya bisa melambung sekitar 20%—30% dari harga yang diatur saat ini senilai masing-masing Rp6.800/liter dan Rp10.000/liter.
“Saya menduga kalau harga Pertalite [RON 90] itu dilepas [sesuai mekanisme pasar], itu bisa sampai Rp13.000—Rp14.000 per liter. Itu cukup besar. Kalau Solar, ya [kenaikannya] bisa di kisaran 20%—30% dari harga hari ini,” ujarnya.
PPN 12%
Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, juga dinilai bakal berdampak pada kenaikan harga BBM seperti Pertamax dan sebagainya.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan proses penyulingan minyak mentah menjadi BBM membutuhkan biaya operasional yang turut dikenakan PPN.
Sementara itu, proses penghiliran minyak di sebuah kilang juga melibatkan pembelian barang dan jasa yang akan dikenakan PPN 12%. Dengan demikian, produk akhir yang dihasilkan, berupa BBM, juga akan mengalami kenaikan harga bila biaya produksinya naik.
“Jadi apapun itu pasti akan terdampak, enggak ada pengecualian. Biaya operasionalnya pasti akan naik,” kata Moshe
Dia menjelaskan kenaikan PPN sebesar 1% yang dirancang pemerintah tidak akan dimaknai selaras oleh pelaku usaha lantaran tiap proses pengolahan barang dan jasa migas dapat memungut tambahan PPN sebesar 1%.
Walhasil, harga produk akhir migas di tingkat konsumen pun bakal dikenakan efek berganda kenaikan PPN tersebut.
Moshe memerinci, peningkatan 1% terhadap bahan baku material migas dapat memberi efek berkali lipat di tingkat konsumen. Misalnya, biaya produksi minyak menjadi bahan bakar akan dikenakan 1%, masuk ke tahap fabrikasi juga akan dipungut 1%, proses distribusi 1% lagi, hingga agen pemasaran juga akan menarik 1%.
“Jadi kenaikan 1% di pajak untuk barang-barang dan jasa bukan berarti nanti pada saat di konsumen naiknya cuma 1%. Masing-masing industri itu beda-beda perhitungannya, tergantung kebutuhannya operasionalnya mereka. Nah, itu bisa bervariasi, misalkan di kenaikan kayak pajak 1% bisa meningkatkan biaya barang ke konsumen naik bisa 5%—10% gitu,” tutur Moshe.
Minyak Dunia Bearish
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memproyeksikan potensi harga minyak masih akan bearish tahun depan karena presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump disebut akan mengakhiri perang di Timur Tengah dan Eropa sesuai dengan janji kampanyenya.
“Donald Trump akan dilantik 20 Januari 2025. Kemungkinan besar, perang besar di Timur Tengah dan di Eropa ini akan usai. Nah, ini yang membuat harga minyak dunia akan melandai kembali,” kata Ibrahim.
Ibrahim menjelaskan, importir terbesar minyak mentah dunia adalah China. Di sisi lain, Negeri Panda juga mengalami penurunan permintaan minyak cukup drastis. Ditambah, setelah Trump dilantik sebagai Presiden AS, kemungkinan besar dia akan menerapkan perang dagang jilid ke-2 dengan China.
Menurut Ibrahim, harga minyak dunia dapat mencapai US$60 per barel pada pertengahan tahun depan. Bahkan, bisa di bawah US$60 per barel.
“Dengan adanya harga minyak mentah turun, kemungkinan besar harga BBM nonsubsidi akan turun. Kalau seadanya turun, ini bagus. Karena sampai saat ini Indonesia impor minyak mentah itu kan hampir 1 juta barel per hari," terangnya.
Standar Euro 4
Rencana pemerintah menerapkan standar Euro 4 untuk seluruh BBM pada 2028 dinilai berisiko mengerek harga bensin dan solar di Indonesia setidaknya Rp500/liter. Meski baru akan berlaku secara nasional pada 2028, standar Euro 4 akan berlaku 100% di kota-kota besar termasuk Jakarta pada 2025.
Analis Senior III Perencanaan Strategis RDMP PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Yesay Setiawan mengatakan, dengan menerapkan klasifikasi kontaminan 50 parts per million (ppm), harga BBM diperkirakan naik berbanding lurus dengan beban investasi kilang untuk memproduksi bensin dan solar standar Euro 4.
“Kalau harga energi hidrogen di kilang pakai hidrogenasi. Makin rendah [di bawah 10 ppm], makin susah di biaya produksi dan ada biaya investasi juga,” ujarnya dalam diskusi Analisis Dampak Kebijakan Pengetatan Standar Kualitas BBM yang digelar IESR.
Dia menyebut investasi yang dibutuhkan untuk empat kilang Pertamina yang dirancang bisa menghasilkan BBM standar Euro 4 diperkirakan mencapai sekitar US$2 milair—US$3 miliar (sekitar Rp31,71 triliun—Rp47,56 triliun).
“Kalau investasi, disclaimer, sekitar US$2 miliar—US$3 miliar. Harga akhir [BBM Euro 4] di konsumen kita mau cari formulasinya, kompensasi harganya; seperti skenario Rp200—Rp500 per liter, range-nya segitu,” ujarnya.
Pada perkembangan lain, Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Noor Arifin Muhammad mengatakan implementasi standar emisi Euro 4 terhadap seluruh BBM yang beredar di Indonesia akan dilakukan bertahap.
Noor memerinci realisasi BBM solar rendah sulfur 50 ppm untuk wilayah Jakarta ditargetkan mencapai 100% pada 2025, sementara secara total di tingkat nasional berada di angka 32,9%.
Pada 2026, wilayah lain seperti Sulawesi Barat juga ditargetkan mencapai 100%; Maluku 100%; Papua 100%; dan Papua Barat 100%. Sementara itu, total nasional pada tahun tersebut diharapkan meningkat menjadi 44,3%.
Adapun, peredaran solar atau diesel Euro 4 pada 2027 diproyeksikan mencapai 70,6% untuk tingkat nasional, sebelum akhirnya mencapai 100% pada 2028.
Untuk bensin, standar Euro 4 ditargetkan mencapai 62,1% di tingkat nasional pada 2025, lalu naik menjadi 78,8% pada 2027, dan mencapai 100% pada 2028.
(mfd/wdh)