Hal tersebutlah yang membuat harga minyak menurun cukup signifikan secara agregat tahun ini. Bahkan, stimulus ekonomi senilai US$1,4 triliun yang disetujui Pemerintah China pun belum bisa mengangkat sentimen positif terhadap harga minyak mentah dunia.
Belum lagi, negara anggota OPEC+ pada Desember kemungkinan besar akan memutuskan normalisasi barel mereka ke pasar global.
“Ya ini mengindikasikan, kalau dilihat fluktuasinya, harga minyak mentah ini kemungkinan bisa makin turun di bawah US$60 pada 2025,” kata Ibrahim.
“Kalaupun seandainya minyak dunia naik [pada 2025], itu semata-mata karena faktor geopolitik saja. Jadi harus berhati-hati. Saya tidak pernah melihat tensi geopolitik itu dijadikan sebagai [sentimen] kenaikan harga secara jangka menengah atau panjang. Naiknya harga minyak mentah itu adalah jangka pendek. Jangka menengah dan panjang kemungkinan besar akan melandai.”
Harga BBM
Bagi Indonesia, lanjut Ibrahim, turunnya harga minyak dunia kemungkinan besar akan membuat harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri ikut turun.
“Kalau seandainya turun, ini bagus, karena sampai saat ini Indonesia impor minyak mentah kan hampir 1 juta barel per hari. Permasalahannya, penurunan harga minyak penurunan harga minyak dibarengi penguatan dolar. [...] Bisa saja, kalau seandainya harga minyak mentahnya turun, ini akan memengaruhi defisit [anggaran negara].”
Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) baru-baru ini sudah memberi peringatan dini tentang adanya potensi surplus minyak dunia sebanyak lebih dari 1 juta barel per hari.
Suplai minyak global bahkan dapat membengkak lebih jauh dari perkiraan tersebut, jika OPEC dan sekutunya memulihkan produksinya tahun depan.
Perkiraan IEA tersebut juga selaras dengan pengamatan Bank Dunia atau World Bank yang tertuang dalam Commodity Markets Outlook terbarunya.
Institusi tersebut bahkan meramalkan harga agregat minyak mentah Brent di level US$73/barel pada 2025 dan makin turun menjadi US$72/barel pada 2026, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yaitu rata-rata US$80/barel.
Adapun, harga minyak Brent untuk sisa tahun ini diestimasikan bertengger di level US$75/barel.
Bank Dunia melandasi proyeksi tersebut pada potensi tidak adanya eskalasi berkepanjangan dalam konflik bersenjata yang sedang berlangsung di berbagai kawasan, perlambatan pertumbuhan permintaan minyak, dan pasokan di pasar minyak yang tercukupi.
"Memang berdasarkan asumsi dasar ini, pasokan minyak global tahun depan diperkirakan melebihi permintaan rata-rata 1,2 juta barel per hari [bph], tingkat kelebihan pasokan yang hanya terlampaui selama penutupan atau lockdown terkait dengan Covid-19 pada 2020 dan jatuhnya harga minyak pada 1998," tulis tim peneliti Bank Dunia.
Adapun, konsumsi minyak global diperkirakan hanya meningkat sekitar 0,9 juta barel per hari pada 2024 dan 2025. Perlambatan tersebut tampak nyata jika dibandingkan dengan peningkatan permintaan sebanyak 2 juta bph pada 2023, setelah China mencabut langkah-langkah kebijakan pembatasan terkait dengan pandemi.
Sekitar 45% dari pertumbuhan konsumsi minyak global pada 2024 dan 2025 diperkirakan terjadi di China dan India, meskipun peningkatan permintaan di Negeri Panda ditaksir hanya akan mencapai sekitar sepersepuluh dari peningkatan yang terlihat pada 2023.
(wdh)