Dicky menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, selalu ada kesenjangan atau gap antara penawaran dan permintaan, lantaran konsumsi timah selalu lebih besar dibandingkan dengan suplai. Di sisi lain, faktor geopolitik juga turut memengaruhi harga timah karena sejumlah kebijakan di China.
“Faktor geopolitik yang sangat mempengaruhi adalah terkait dengan terpilihnya [presiden Amerika Serikat, Donald] Trump. Itu dikhawatirkan ada perang dagang antara Amerika dan China yang juga sangat berpengaruh kepada harga timah,” ujarnya.
Kondisi perang dagang dua raksasa ekonomi tersebut tecermin dari harga timah yang beranomali setelah Donald Trump dinyatakan sebagai Presiden Amerika Serikat terpilih. Harga timah terdepresiasi sekitar 10%, dari semula US$32.000/ton menjadi US$28.000/ton secara mingguan.
“Sampai akhir tahun ini mungkin kita melihat akan ada harga timahnya tidak akan serendah 2023, tetapi juga mungkin tidak akan setinggi sampai US$35.000/ton,” tutur Dicky.
PT Timah mencatat produksi bijih timah sejumlah 15.189 ton per September 2024. Capaian itu naik 36% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 11.201 ton. Kemudian, produksi logam timah naik 25% menjadi 14.440 metrik ton dari periode yang sama tahun lalu sebesar 11.540 metrik ton.
Penjualan logam timah meningkat 21% menjadi 13.441 metrik ton per September 2024 dibandingkan dengan periode yang sama sebesar 111.100 metrik ton. Sementara itu, harga jual rata-rata hingga September 2024 menjadi US$31.183 metrik ton. Capaian ini naik 15% dari periode yang sama tahun lalu US$27.017 metrik ton.
Bank Dunia atau World Bank (WB) dalam laporan Commodity Market Outlook teranyarnya mengatakan proyeksi penguatan harga timah terjadi seiring dengan meningkatnya permintaan semikonduktor, panel fotovoltaik, dan teknologi transisi energi lainnya.
"Setelah kenaikan yang diharapkan sebesar 16% secara tahunan atau year on year [yoy] tahun ini, harga timah akan naik sebesar 7% pada 2025 dan 6% pada 2026, didukung oleh meningkatnya permintaan semikonduktor, panel fotovoltaik, dan teknologi transisi energi lainnya," papar tim peneliti Bank Dunia dalam laporannya.
Dari sisi pasokan, ekspor timah Indonesia diperkirakan kembali stabil setelah penundaan perizinan menyebabkan penurunan tajam pada awal 2024.
Sebaliknya, operasi belum dimulai kembali di tambang-tambang utama di Myanmar—produsen timah terbesar ketiga—meskipun larangan penambangan 2023 telah dicabut sebagian pada awal 2024.
"Dengan sedikit proyek penambangan timah baru yang sedang dikembangkan, pasokan global kemungkinan akan tetap ketat pada tahun-tahun mendatang," papar Bank Dunia.
(mfd/wdh)