"Tentu nanti kita lihat terutama untuk komoditas pangan, Tentu akan ada pengaturan dan skema pajaknya," ujar Airlangga.
Dikonfirmasi secara terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti mengatakan, barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat luas seperti barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran dibebaskan dari pengenaan PPN.
"Serta jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan, dibebaskan dari pengenaan PPN, artinya kebutuhan rakyat banyak tidak terpengaruh oleh kebijakan ini," ujar Dwi kepada Bloomberg Technoz.
Sebelumnya, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% diproyeksi akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi hingga 0,17% dari keadaan bisnis seperti biasa atau business as usual.
"Kalau dulu kami [Indef] hitung, dampak kenaikan PPN terhadap indikator kenaikan makro untuk pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi 0,17% dari business as usual. Kalau misalnya pertumbuhan ekonomi kita harusnya 5%, karena ada kenaikan PPN jadi 4,83%," ujar Ahmad dalam agenda diskusi publik, dikutip Selasa (19/11/2024).
Sekadar catatan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 di kisaran 5,3%-5,6%. Target ini tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025.
Dalam dokumen rancangan awal RKP 2025 dijelaskan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi 2025 diklaim akan meningkatkan gross national income (GNI) per kapita menjadi US$5.500-US$5.520.
“Atau bertahan pada kategori upper-middle income countries (kelompok negara berpendapatan menengah atas) tahun 2025 dan menjadi landasan awal dalam pencapaian Visi Indonesia Emas 2045,” tulis dokumen rancangan awal RKP 2025.
(lav)