Dwi mengatakan, barang yang dibutuhkan masyarakat luas seperti barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran dibebaskan dari pengenaan PPN.
"Serta jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan, dibebaskan dari pengenaan PPN, artinya kebutuhan rakyat banyak tidak terpengaruh oleh kebijakan ini," ujar Dwi.
Selain itu, Dwi mengatakan, pemerintah telah memperluas lapisan penghasilan dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta yang dikenakan tarif terendah sebesar 5%. Pemerintah juga menerapkan pembebasan pajak penghasilan atau 0% bagi wajib pajak orang pribadi dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dengan omzet sampai dengan Rp500 juta.
"Hal ini ditujukan untuk menjaga daya beli masyarakat terutama kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Di lain sisi, sebagai wujud kegotongroyongan orang pribadi yang memiliki penghasilan lebih dari Rp5 miliar dikenakan tarif tertinggi sebesar 35%," ujarnya.
Sebelumnya, seruan aksi untuk frugal living mencuat di media sosial sebagai bentuk protes atas rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025.
Menyitir sosial media X, dulunya Twitter, warganet menilai frugal living sebagai upaya untuk melakukan boikot kepada pemerintah.
"Boikot pemerintah jalur frugal living struktural. Cermat dengan pengeluaran, beli di warung tetangga atau pasar dekat rumah, buat daftar barang-barang berpajak yang bisa dicari alternatifnya, minimalkan konsumsi," tulis akun @uswahabibah dalam akun X, dikutip Rabu (20/11/2024).
Dalam perkembangan lain, seorang warganet mengajak masyarakat untuk menahan pembelian handphone, motor dan mobil baru setidaknya selama satu tahun.
"Jangan lupa pakai semua subsidi, tidak usah gengsi dibilang miskin, itu dari duit kita juga kok. Kapan lagi boikot pemerintah sendiri," tulis @malesbangunaja dalam akun X.
(lav)