Kondisi yang sama, kata dia, sebenarnya terjadi antara Indonesia dan Filipina. Dia menilai, tak ada undang-undang dan perjanjian ekstradisi antardua negara yang bisa menjadi payung hukum pengembalian Mary Jane ke Filipina.
"Apakah kita sudah punya perjanjian ekstradisi dengan Filipina? Setahu saya belum," kata Hugo.
"Langkah untuk memindahkan seorang narapidana harus didasari oleh kerangka hukum yang jelas dan konsisten, yang mencerminkan kedaulatan hukum Indonesia."
Dia menilai, keputusan pemulangan atau pemindahan lokasi hukuman bagi Mary Jane tak bisa hanya didasari kesepakatan antara Prabowo dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong. Keputusan diplomatik tak bisa mengabaikan prinsip hukum yang berlaku di Indonesia.
"Kita akan dianggap mengabaikan keadilan [oleh dunia internasional] jika tidak konsisten dan mengeluarkan kebijakan tanpa kejelasan hukum,” ujar dia.
Mary Jane sendiri adalah narapidana hukuman mati yang sudah menjalani proses hukum sejak 2010; usai kedapatan berupaya memasukkan 2,6 kilogram heroin dari Malaysia ke Indonesia. Dia sempat dijadwalkan menjalani eksekusi mati pada 2015; namun batal usai sejumlah aksi masyarakat sipil dan lobi pemerintah Filipina.
Keluarga Mary Jane dan Pemerintah Filipina juga telah berupaya mendapatkan grasi dari Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi); namun ditolak. Belakangan, Mary Jane disebut sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Dia dianggap digunakan seseorang untuk membawa sebuah koper berisi narkoba dengan iming-iming mendapat pekerjaan di Yogyakarta.
"Memang benar dia (Mary Jane) warga negara Filipina, tetapi dia melakukan pelanggaran hukum di otoritas wilayah negara Indonesia dan sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap," ungkap Legislator dari Dapil NTT I tersebut.
(red/frg)