BPS menilai perlu kajian lebih dalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. "Ini memang perlu dikaji lebih mendalam apakah pendapatan setelah pandemi, khususnya pada 2023 ini, secara umum lebih rendah dibanding 2019 sebelum Covid-19," kata Margo Yuwono, Kepala BPS dalam konferensi pers siang ini (2/5/2023).
Secara umum, jelas Margo, konsumsi rumah tangga masih tumbuh positif. Pada 2022, konsumsi rumah tangga sudah tumbuh mendekati posisi sebelum pandemi.
"Kalau kita lihat pergerakan data konsumsi rumah tangga, pertumbuhan hampir mendekati level sebelum pandemi. Bisa digambarkan bahwa pendapatan masyarakat mulai kembali seperti sebelum pandemi Covid-19," tutur Margo.
Pada lebaran,pendapatan masyarakat juga meningkat karena pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dan bonus. Peningkatan pendapatan ini akan meningkatkan daya beli. Kendati di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), pemerintah belum memberikan tunjangan kinerja 100% dalam komponen THR yang diterima para abdi negara pada Lebaran tahun ini.
Inflasi yang rendah, menurut Margo, lebih disebabkan oleh pasokan yang memadai, terutama komoditas pangan. "Permintaan meningkat, tetapi ketersediaan cukup sehingga bisa menekan inflasi secara umum karena suplai yang melimpah. Adanya inflasi juga menunjukkan permintan masyarakat di lebaran ini lebih besar dibanding tahun lalu," tegasnya.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman juga tidak melihat capaian inflasi yang di bawah ekspektasi itu sebagai sinyal konsumsi masyarakat yang lemah. "Dari sisi bulanan, inflasi inti terlihat ada penguatan dari 0,16% secara bulanan pada Maret lalu menjadi 0,25% mtm pada April. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat permintaan masyarakat atau daya beli masih tetap tangguh," jelasnya.
Pada 2022, tingkat konsumsi masyarakat (private consumption) tercatat tumbuh 4,48%, masih di bawah pertumbuhan sebelum pandemi mendera yang bisa 5% bahkan di atasnya. Konsumsi masyarakat menjadi variabel penting karena sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terbilang besar.
Alarm dari kredit perbankan
BPS baru akan mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal 1-2023 pada Jumat pekan ini. Sejauh ini sinyal perlambatan datang dari sektor perbankan. Data yang dirilis oleh Bank Indonesia akhir bulan lalu menunjukkan, pertumbuhan kredit bank melambat menjadi 9,8% year-on-year pada Maret lalu, dibandingkan 10,4% pada Februari.
Perlambatan pertumbuhan kredit bank terjadi di semua jenis pinjaman. Kredit modal kerja, misalnya, mencatat pertumbuhan 10% pada Maret, turun dari 10,2% di bulan sebelumnya. Lalu, kredit investasi juga tumbuh melambat dari 11,8% menjadi 10,3% bulan lalu. Bahkan kredit investasi di sektor Industri Pengolahan anjlok menjadi tumbuh 16,5% dari tadinya 22,9% year-on-year pada Februari.
Kredit konsumsi juga ikut melambat dari 9,6% menjadi 9,1% pada Maret meski ada capaian pertumbuhan kredit konstruksi yang mengesankan. Kredit sektor tersebut tumbuh 7,4% pada Maret, dibanding 2,7% pada Februari. Adapaun penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) dan apartemen (KPA) tercatat melambat menjadi 7,3% dibandingkan 7,8% pada bulan sebelumnya.
Perlambatan penyaluran kredit perbankan itu kemungkinan dipengaruhi oleh kenaikan bunga kredit yang menahan langkah pengajuan atau pencairan kredit bank dari para nasabah. Catatan BI, bunga kredit bank, dalam hal ini kredit modal kerja, mengalami kenaikan 4 bps pada Maret ke kisaran 9,38%. Kenaikan bunga kredit itu sejalan dengan kenaikan bunga simpanan untuk semua tenor, untuk tenor 1 bulan saat ini rata-rata bunga simpanan berada di kisaran 4,17%.
Namun, di mata analis, perlambatan pertumbuhan kredit perbankan itu masih belum mengkhawatirkan karena lebih karena faktor musiman dan diyakini akan bangkit memasuki kuartal II ini hingga akhir tahun. "Jadi, ada pola musiman di mana masih ada ruang untuk menguat lagi," kata Faisal.
Data terbaru S&P PMI Manufacturing Indeks Indonesia tercatat naik ke level tertinggi sejak September 2022, yaitu di posisi 52,7 per April 2023. Tren penguatan tersebut telah berlangsung sejak November tahun lalu. Itu memberi sinyal bahwa pemulihan ekonomi domestik masih dalam jalur yang prospektif dan positif.
Peluang pengguntingan bunga acuan
Inflasi yang melandai lebih cepat dan lebih rendah bahkan melampaui perkiraan Bank Indonesia melontarkan pertanyaan apakah itu akan mendorong bank sentral berbalik arah sebelum tutup tahun. Beberapa analis dan ekonom memperkirakan ruang pengguntingan bunga acuan terbuka lebih cepat bahkan mulai Juli nanti.
Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Prayadi memperkirakan, BI sudah bisa memangkas bunga acuan mulai Juli nanti sebesar 25 bps dan berturut-turut hingga total pemangkasan sebelum tahun ini berakhir sebanyak 100 bps hingga 150 bps.
Sebelumnya, ekonom Citigroup Global Helmi Arman juga memprediksi, BI akan mulai pivot pada September dengan pemangkasan 25 bps hingga sampai November nanti. Lalu, Januari 2024, pengguntingan bunga akan berlanjut hingga akhirnya BI7DRR akan bertahan di level 4,75%.
Pengguntingan bunga acuan dibutuhkan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi, termasuk untuk mengungkit laju kredit perbankan. Dari pasar finansial, emisi obligasi selama 2023 hingga akhir April juga anjlok hampir 30% disinyalir terimbas tren bunga tinggi yang sudah berlangsung sejak Agustus tahun lalu.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai pengumuman BI7DRR sebelum libur Lebaran beberapa waktu lalu mengakui bila ada peluang inflasi terjangkar ke target bank sentral lebih cepat dan lebih rendah sebelum tahun berakhir. Akan tetapi ketika ditanya tentang peluang penurunan bunga acuan, Perry sebagaimana harusnya seorang gubernur bank sentral, enggan memberi jawaban gamblang. "Tunggu nanti pada pengumuman BI7DRR berikutnya," ujarnya sambil tersenyum.
Ekonom Bank Mandiri masih meyakini, bank sentral belum akan berbalik arah memangkas bunga acuan. Selain alarm dari perlambatan kredit perbankan belum terlalu mengkhawatirkan, menurut Faisal, ketidakpastian global juga masih tinggi. Akan terlalu berisiko bila pivot dilakukan terlalu cepat.
"Stability over growth", menjadi adagium utama bank sentral saat ini. "BI baru akan pangkas bunga pada kuartal 1-2024. Sampai akhir tahun ini perkiraan kami masih akan di 5,75%. Pasalnya, meski inflasi terus turun lebih cepat akan tetapi surplus neraca dagang ada tendensi menyusut seiring perlambatan ekonomi global ditambah masih tingginya ketidakpastian dari Amerika. Jadi, kami melihat untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan, BI masih perlu menahan bunga acuan hingga akhir tahun," jelas Faisal yang memprediksi inflasi pada akhir 2023 akan bertengger di level 3,6% itu.
(rui/roy)