Selain itu, formulasi pertama bakal membuat transportasi umum tidak lagi mendapatkan subsidi BBM.
Maka, kata Bahlil, timnya membuat formulasi kedua yaitu dengan mempertahankan subsidi berbasis barang atau kuota untuk fasilitas umum untuk menahan inflasi. Selebihnya, subsidinya tetap dialihkan menjadi BLT.
"Alternatif ketiga adalah kita lagi memformulasikan agar sebagian yang disubsidi barang itu bisa dinaikkan angkanya," ujarnya.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan harga jenis BBM penugasan khusus (JBKP) Pertalite dan jenis BBM tertentu (JBT) Solar sebenarnya tidak hanya dipengaruhi kebijakan subsidi saja.
Komponen-komponen lain mulai dari harga minyak dunia, biaya impor, biaya transportasi, nilai tukar, dan sebagainya juga memengaruhi struktur pembentukan harga kedua BBM tersebut.
Jika Solar dan Pertalite dilepas ke nilai keekonomiannya, akibat subsidi dan kompensasinya dialihkan untuk BLT, harga keduanya bisa melambung sekitar 20%—30% dari harga yang diatur saat ini senilai masing-masing Rp6.800/liter dan Rp10.000/liter.
“Saya menduga kalau harga Pertalite [RON 90] itu dilepas [sesuai mekanisme pasar], itu bisa sampai Rp13.000—Rp14.000 per liter. Itu cukup besar. Kalau Solar, ya [kenaikannya] bisa di kisaran 20%—30% dari harga hari ini,” ujarnya saat dihubungi Bloomberg Technoz.
Bertahap
Ronny berpendapat jika pemerintah memang akan mengalihkan subsidi BBM untuk BLT, harga Solar dan Pertalite memang sudah sepatutnya dilepaskan mengikuti mekanisme pasar. Akan tetapi, proses peralihan tersebut sebaiknya dilakukan bertahap.
“Kalau totally dilepaskan, besar risikonya. Saya menyarankan melepas subsidinya pelan-pelan. Dilepas Rp500 perak, lalu Rp1.000 perak. Mungkin sampai 3—4 tahun untuk [benar-benar] lepas [dari subsidi], biar masyarakat tidak terlalu merasakan imbasnya,” tutur Ronny.
“Misalnya, kenaikan harganya Rp500, lalu tunggu 6 bulan, lalu baru naik lagi Rp500; berarti setahun sudah naik Rp1.000. Itu akan jadi tidak terasa. Lalu, tahun depannya, dinaikkan lagi dua kali seperti itu. Menurut saya, solusinya bukan dihajar langsung dihilangkan [subsidinya].”
Lebih lanjut, dia menilai logika pemerintah bahwa masyarakat kelas menengah tidak berhak mengonsumsi BBM bersubsidi adalah sebuah kekeliruan.
Meski subsidi memang sebaiknya menyasar masyarakat yang benar-benar tidak mampu, kalangan masyarakat menengah yang tadinya ‘mampu’ bisa terancam berubah menjadi ‘tidak mampu’ jika mereka tidak boleh lagi mengakses BBM bersubsidi.
Untuk itu, dia menggarisbawahi, pemerintah perlu membuat peta jalan penghapusan subsidi dengan tetap peka terhadap kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat.
“Menurut saya, subsidi itu dicabut, tetapi pelan-pelan. Mungkin ditetapkan dalam 3—4 tahun ke depan Indonesia sudah harus lepas dari subsidi, dengan beberapa kali tahapan pencabutan. Itu bisa jadi opsi yang jauh lebih baik, sehingga tidak terasa oleh masyarakat, dan tidak terlalu banyak [dana] BLT yang dibutuhkan karena [subsidi BBM] dicabutnya kecil-kecil.”
(mfd/wdh)