“Mereka [Pemerintah Indonesia] ingin mempertahankan harga bijih yang baik di pasar,” kata Jerome Baudelet, CEO Eramet Indonesia, dalam sebuah wawancara di Jakarta pada Kamis (21/11/2024). “Mereka ingin melindungi penambang kecil lokal.”
Harga nikel telah mengalami kemerosotan selama dua tahun karena permintaan yang lemah dan pasokan Indonesia yang meningkat.
Kondisi tersebut memaksa beberapa penambang nikel di negara lain untuk tutup sepenuhnya, dan juga memberi tekanan pada smelter di Indonesia yang sudah menghadapi tekanan harga bijih yang tinggi karena kekurangan tersebut.
Indonesia sekarang menyumbang lebih dari separuh produksi nikel global setelah larangan ekspor bijih mentahnya menyebabkan peningkatan pembangunan smelter di dalam negeri, sebagian besar oleh perusahaan-perusahaan China.
Di sisi pertambangan, produksi sangat terfragmentasi antara sejumlah besar perusahaan lokal kecil dan beberapa penambang internasional besar seperti Eramet dan Vale SA.
Akibat pembatasan penjualan, penambang telah memprioritaskan penjualan bijih bermutu tinggi yang biasanya digunakan dalam produksi baja nirkarat, kata Baudelet.
Hal itu dilakukan dengan mengorbankan bentuk yang kurang kaya yang disebut limonit yang biasanya diubah menjadi nikel bermutu baterai di fasilitas pelindian asam bertekanan tinggi.
Smelter-smelter tersebut dipaksa mengimpor bijih dalam jumlah besar dengan biaya yang sangat tinggi, kata Baudelet.
Eramet dapat mengajukan kuota ekspor yang lebih tinggi tahun depan, yang dapat mengurangi ketatnya pasar bijih. Hal itu mungkin menjadi lebih mendesak karena negara tersebut terus meningkatkan kapasitas pemrosesan secara online.
Kebijakan Presiden
Banyak hal akan bergantung pada sikap pemerintah baru negara tersebut terhadap sektor nikel. Presiden Prabowo Subianto, yang dilantik bulan lalu, telah berjanji untuk melanjutkan kebijakan pendahulunya untuk membawa pemrosesan mineral seperti nikel ke dalam negeri.
Mantan jenderal tersebut baru-baru ini mengakhiri perjalanannya ke AS, yang mencakup pertemuan dengan Presiden Joe Biden dan panggilan telepon dengan Presiden terpilih Donald Trump.
Indonesia telah mendorong AS untuk membuat kendaraan listrik yang mengandung nikelnya memenuhi syarat untuk subsidi yang diberikan oleh Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA).
Masih harus dilihat apakah pemerintahan Trump akan lebih setuju dengan kesepakatan tersebut, terutama mengingat keinginannya yang berulang kali diungkapkan untuk menghapus sebagian besar IRA.
Namun, dominasi negara Asia Tenggara yang makin meningkat di pasar nikel mungkin akan memaksa AS pada akhirnya, kata Baudelet.
“Jika Anda melihat Indonesia, dalam lima, 10 tahun ke depan akan mendominasi 70% dari produksi [nikel] dunia,” katanya. “Jika Anda tidak ingin mengambil sumber dari Indonesia, akan menjadi tantangan bagi Anda untuk mendapatkan nikel yang kompetitif.”
(bbn)