Bhima menggarisbawahi, saat ini saja, masih banyak kawasan industri yang menggunakan PLTU captive dengan kapasitas diperkirakan menembus 17,1 gigawatt (GW) hingga akhir 2024.
Di sisi lain, menurutnya, belum ada tanda-tanda pemerintah akan merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, sebagai payung hukum dari pembangunan PLTU di kawasan industri.
Sekadar catatan, perpres tersebut masih melibatkan PLTU sebagai salah satu pembangkit yang boleh dibangun dan terintegrasi dengan industri nasional. Dengan kata lain, Indonesia masih membolehkan penggunaan batu bara dalam misi transisi energi, yang dinilai berseberangan dengan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Selain itu, PT PLN [Persero] masih menjaga umur PLTU batu bara on grid lebih panjang dengan melakukan co-firing biomassa. Kementerian teknis—seperti Kementerian Keuangan dan ESDM — bahkan menghindari pemensiunan PLTU batu bara dengan alasan memicu kerugian negara,” tegas Bhima.
Dia juga menggarisbawahi beberapa PLTU on grid bahkan baru saja beroperasi dan dibangun seperti PLTU Cirebon-2. “Jadi belum ada aksi nyata dari pemerintah dan PLN [untuk benar-benar menekan batu bara dalam bauran energi primer nasional].”
Pada sesi agenda bertema Sustainable Development and Energy Transition di KTT G20 Brasil awal pekan ini, Prabowo menyatakan janji untuk mengonversi seluruh PLTU berbasis batu bara di Indonesia ke energi baru terbarukan (EBT) dalam 15 tahun ke depan.
Prabowo menegaskan visi Indonesia untuk mewujudkan emisi nol bersih sebelum 2050, termasuk dengan optimasi penggunaan biodiesel dan konversi PLTU ke EBT.
“Kami juga memiliki sumber daya panas bumi yang luar biasa, dan kami berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan semua pembangkit listrik tenaga fosil dalam 15 tahun ke depan. Kami berencana untuk membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan,” tegasnya dikutip dari laman Sekretariat Presiden.
Janji Prabowo memadamkan seluruh PLTU di dalam negeri dalam 15 dihadapkan pada fakta bahwa, hingga saat ini, bauran energi primer dalam penyediaan tenaga listrik di dalam negeri justru makin didominasi oleh batu bara.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung memaparkan, sampai dengan Agustus 2024 saja, hegemoni batu bara dalam sistem ketenagalistrikan di Tanah Air menembus 67%.
Realisasi tersebut melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang mematok penggunaan pembangkit batu bara sebesar 65,72% dalam bauran energi primer nasional.
"Dari realisasi, ternyata ketergantungan kita terhadap energi batu bara ini masih relatif tinggi dibandingkan dengan target. Masih sekitar 67%," kata Yuliot dalam kegiatan Electricity Connect 2024, Rabu (20/11/2024).
Terus Bertambah
Di lain sisi, Kapasitas terpakai dari PLTU berbasis batu bara yang masih beroperasi di Indonesia dilaporkan mencapai 51,55 GW per 2023. Angka tersebut justru membengkak dibandingkan dengan 2015 dan 2016 yang hanya berada pada rentang 20 GW hingga 40 GW.
Berdasarkan data Global Coal Plant Tracker dari Global Energy Monitor, total kapasitas PLTU berbasis batu bara—yang masih dalam pembangunan dan prakonstruksi (diumumkan, praperizinan, mendapatkan izin) — di Indonesia mencapai 67,2 GW pada 2023.
Angka ini memang jauh berkurang dibandingkan dengan pada 2015 yang hampir menyentuh 80 GW. Namun, perlu diingat, Indonesia juga harus menghentikan PLTU batu bara pada 2040 untuk memenuhi target Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Pada akhir Agustus, Kementerian ESDM mengatakan setidaknya terdapat 13 PLTU berbasis batu bara yang sudah tua secara umur dan bakal memasuki masa pensiun sebelum 2030.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan PLTU yang masuk ke dalam daftar tersebut di antaranya adalah PLTU Suralaya, PLTU Paiton, dan PLTU Ombilin. Bagaimanapun, dia tidak mendetailkan 10 PLTU lain yang masuk dalam daftar.
“Kalau istilahnya itu pensiun secara natural. Itu sebelum 2030 ada list-nya, nah itu termasuk dalam list 13. Kalau kita suggest Ombilin itu termasuk yang tercepat dimusnahkan saja bisa. Di situ tidak ada gangguan masalah sosial penduduknya yang sudah tidak pakai, terus tidak ada pekerjanya, yang isunya sudah lebih mudah gitu,” ujar Eniya.
Sebanyak 13 PLTU yang masuk ke dalam daftar itu setidaknya memiliki jumlah emisi mencapai 48 juta ton CO2.
Selanjutnya, sebut Eniya, Kementerian ESDM juga bakal mengeluarkan keputusan menteri untuk peta jalan pensiun PLTU. Kepmen itu bakal berisi ihwal skenario hingga syarat untuk pensiun PLTU tersebut.
Adapun, pada September 2024, pemerintah mengumumkan telah mendapatkan pinjaman berbasis kebijakan senilai US$500 juta (sekitar Rp7,58 triliun) dari Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB), yang salah satunya digunakan untuk percepatan pensiun dini dari PLTU batu bara.
Selain dari ADB, Indonesia sebelumnya sudah mendapatkan dana dari skema kemitraan JETP yang hanya memberikan porsi hibah 1,32% setara US$284,4 juta dari total komitmen US$21,6 miliar.
Dalam sebuah kesempatan di Bloomberg CEO Forum pada September tahun lalu, Luhut Binsar Pandjaitan—yang kala itu masih menjabat sebagai Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi — sempat menyinggung bahwa dana kesepakatan iklim Indonesia senilai JETP belum cukup untuk mempercepat transisi energi di Tanah Air.
Menurut perhitungannya, kebutuhan anggaran untuk pemensiunan dini PLTU berbasis batu bara di Indonesia saja mencapai setidaknya US$100 miliar (sekitar Rp1,59 kuadriliun).
"Jika Anda melihat kembali, hasil [kesepakatan JETP di] G-20 senilai US$20 miliar. Namun kenyataannya, menurut saya, bisa [kebutuhan Indonesia] mencapai US$100 miliar. Ini dana yang perlu disiapkan," ujarnya.
(wdh)