Selain itu, YLKI juga menyoroti sikap pemerintah. Negara, kata dia, seharusnya tak membebani konsumen dengan pajak yang tinggi, sementara pengemplang pajak justru tidak mendapatkan sanksi tegas. Alih-alih menaikkan PPN, sambungnya, pemerintah harusnya fokus pada peningkatan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha kakap dan para pengemplang, agar beban pajak tidak jatuh lagi-lagi pada rakyat kecil.
"Kebijakan ini juga menimbulkan ketidakjelasan terkait kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani sebelum 1 Januari 2025, di mana PPN masih berlaku 11%. Siapa yang akan menanggung selisih harga akibat perubahan tarif PPN ini? Hal ini tentu akan menambah bingung para pelaku usaha dan konsumen," ujar dia.
"YLKI mengusulkan agar pemerintah menangguhkan atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12%. Langkah ini dianggap sebagai solusi yang lebih bijaksana," tutupnya.
(ain)