Logo Bloomberg Technoz

Berdasarkan data kinerja pertumbuhan ekonomi terakhir Indonesia pada kuartal III-2024, konsumsi rumah tangga menyumbang 53,08% Produk Domestik Bruto (PDB) atau lebih dari separuh pertumbuhan ekonomi. 

Sementara komponen investasi (PMTB) adalah sebesar 29,75%, lalu komponen ekspor barang dan jasa sebesar 22,53%. Belanja pemerintah menyumbang 7,21% dan komponen perubahan inventori berkontribusi 3,83%.

Tidak heran dengan peran yang besar, ketika terjadi pelemahan dalam konsumsi masyarakat, pertumbuhan ekonomi pun langsung terseret. Itu yang terjadi pada kuartal III-2024 di mana PDB Indonesia hanya tumbuh 4,95%, terendah setahun, akibat konsumsi rumah tangga melemah dengan pertumbuhan hanya 4,91%.

Gerakan menolak kebijakan kenaikan tarif PPN 12% di media sosial (Dok. Istimewa)

Lantas, bila gerakan #TolakPPN12 dengan menerapkan frugal living dan mengurang belanja barang/jasa yang terkena pajak, akan seperti apa dampaknya pada perekonomian RI?

Menurut Ekonom Centre of Law and Economic Studies (Celios) Bhima Yudistira, respon penolakan masyarakat terhadap kebijakan kenaikan tarif PPN itu akan memicu risiko membesarnya underground economy.

"Pilihan masyarakat mungkin ada tiga, bisa tetap berbelanja tapi cari yang harga lebih murah, atau bisa menahan belanja, ataupun memilih belanja barang yang tidak terkena pajak. Yang terakhir, bisa memicu peredaran barang ilegal makin banyak, sehingga underground economy membesar. Yang rugi adalah sektor formal yang selama ini rajin bayar pajak," katanya.

Perbandingan antara potensi penerimaan pajak negara karena kenaikan PPN jadi 12% dinilai tidak sebanding dengan efek buruk ke perekonomian secara luas ketika konsumsi masyarakat tertekan. Lebih-lebih bila ditambah dengan gerakan frugal living dan mengurangi belanja di barang/jasa yang terkena pajak.

Hitungan Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu memperkirakan kenaikan tarif PPN bisa menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp70 triliun. 

Di sisi lain, belanja masyarakat mendorong multiplier effect yang besar. Setiap pembelanjaan akan menyumbang penerimaan pajak bagi negara dari pengenaan PPN.

Para produsen akan meningkatkan produksi demi memenuhi permintaan konsumen. Peningkatan produksi akan mendorong belanja bahan baku lebih besar sehingga industri hulu juga akan ketiban berkah.

Permintaan pasar yang meningkat akan mendorong pula para produsen merekrut tenaga kerja lebih banyak sehingga lapangan kerja terbuka lebih luas. Pendapatan para pekerja akan bergulir lagi untuk konsumsi. Ketika kinerja penjualan membaik, pemberi kerja bisa mencetak laba lebih besar, yang bisa menetes menjadi kenaikan gaji atau pemberian bonus bagi pekerja. Juga, bisa menjadi modal membiayai investasi baru. 

Pinjaman dari perbankan akan laris diserbu dunia usaha. Sedangkan rumah tangga tidak akan segan mengambil pinjaman didukung stabilitas pendapatan yang lebih baik karena lapangan kerja luas. Nilai tabungan masyarakat ataupun investasi juga bisa turut membesar karena kesempatan kerja lebih luas memungkinkan pekerja mendapatkan upah memadai, sehingga bisa dialokasikan untuk saving.

Dana masyarakat yang besar di bank maupun di instrumen investasi menjadi modal berharga bagi perbankan untuk menggenjot kredit, atau bagi emiten untuk membiayai ekspansi bahkan bagi pemerintah dalam membiayai belanja negara. Demikian seterusnya.

Pertumbuhan uang beredar di Indonesia melambat dalam tiga bulan beruntun (Bloomberg)

Mengacu pada data realisasi pendapatan negara tahun 2023, total penerimaan negara pada 2023 mencapai Rp2.634,14 triliun. Sebanyak Rp2.118,34 triliun atau 80,41% diperoleh dari pungutan pajak.

Sebanyak Rp2.045,45 triliun merupakan Pajak Dalam Negeri, termasuk Pajak Penghasilan sebesar Rp1.040,79 triliun. PPh di sini termasuk PPh 21, PPh 22 impor, PPh Badan, PPh 26, PPh final. 

Lalu, ada juga Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang nilainya tahun lalu mencapai Rp742,26 triliun.

Mayoritas penerimaan negara dalam bentuk pajak, yang menjadi sumber utama pembiayaan APBN, berasal dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Pengusaha dan produsen menyumbang lewat pajak badan usaha juga pajak penghasilan, pajak impor dan lain-lain. Sedangkan para pekerja menyumbang pajak penghasilan (PPh 21).

Masyarakat secara umum banyak menyumbang pajak pertambahan nilai melalui belanja atau konsumsinya karena PPN dikenakan pada semua barang/jasa kecuali yang dikecualikan, tanpa memandang statusnya apakah miskin, menengah, kaya, bekerja atau pengangguran.

Grafik Dampak Kenaikan PPN 12% terhadap Indikator Makro RI (Bloomberg Technoz)

Saat gerakan frugal living bahkan menyengajakan untuk beralih ke barang/jasa yang tak terkena pajak, dampak pada penerimaan pajak negara bisa terdampak yang sebaiknya tidak dipandang remeh.

Contoh terdekat adalah gerakan boikot produk terafiliasi zionis Israel yang telah menjatuhkan banyak merek-merek ternama, memicu penurunan pendapatan usaha dan memantik PHK.

Atau, contoh gamblang yang lebih 'mengerikan' yaitu saat pandemi Covid-19 merebak pada 2020 lalu.

Pada tahun itu, belanja masyarakat terkontraksi atau tumbuh negatif selama empat kuartal beruntun, indikasi resesi ekonomi. Sebagai dampak langsung, pertumbuhan ekonomi juga terkontraksi selama kuartal II-2020 hingga kuartal 1-2021.

Selama 2020 itu, Penerimaan Negara anjlok cuma Rp1.628,95 triliun. Penerimaan Perpajakan hanya sebesar Rp1.285,13 triliun di mana Pajak Dalam Negeri sebesar Rp1.248,41 triliun, anjlok lebih dari Rp250 triliun dibanding perolehan tahun sebelumnya.

Termasuk di dalamnya adalah PPh yang hanya Rp594,03 triliun, anjlok hampir Rp200 triliun dibanding 2019. Lalu PPnBM juga turun lebih dari Rp80 triliun.

Ekspektasi Inflasi Meningkat

Penerapan tarif PPN 12% yang mencerminkan kenaikan tarif sebesar 9,09% telah memantik antisipasi para penjual ritel.

"Becermin dari kejadian kenaikan tarif PPN pada 2022 dari 10% menjadi 11%, itu para produsen sudah lebih dulu mengerek harga. Ini terjadi lagi dan kita tahu ekspektasi inflasi sudah naik saat ini," kata Bhima.

Masyarakat menyadari tahun depan akan banyak kebijakan yang potensial menekan kondisi keuangan mereka sehingga sejatinya gaya hidup berhemat sudah terlihat sejak beberapa waktu terakhir.

”Efek dari tarif PPN, kemudian BBM (bahan bakar minyak) yang akan diganti BLT (bantuan langsung tunai), misalnya, itu akan mengubah ekspektasi dan pola konsumsi masyarakat. Bahwa ke depan, mulai Januari 2025, itu akan terjadi kenaikan harga, berarti inflasi ke depan diperkirakan jauh lebih tinggi,” kata Bhima dalam Media Talkshow Economic Outlook 2025 yang diadakan oleh Grant Thornton, kemarin.

Mengutip hasil Survei Penjualan Eceran September 2024 yang dirilis oleh Bank Indonesia, harga barang diperkirakan meningkat pada Desember 2024 dan Maret 2025.

Indeks ekspektasi harga umum pada periode 3 bulan dan 6 bulan mendatang tersebut masing-masing sebesar 152,6 dan 169,4. Angka itu lebih tinggi dibanding periode bulan sebelumnya, yang masing-masing 134,3 dan 155,9.

Ekspektasi inflasi lebih tinggi pada Desember juga dipengaruhi faktor musiman libur Natal dan Tahun Baru. Sedangkan bulan Maret, bulan Ramadan sudah datang.

Inflasi yang meningkat karena lonjakan harga barang di kala konsumsi masyarakat sebenarnya melesu, semakin menekan keuangan terutama kelas menengah dan bawah.

Ketika inflasi meningkat, bank sentral akan terpanggil untuk mengetatkan kebijakan melalui bunga acuan yang tinggi. Kebijakan moneter ketat akan makin membatasi peredaran uang. Ekonomi makin lambat bahkan bisa terkontraksi.

(rui/aji)

No more pages