Mary Jane sempat mengajukan banding pada 23 Desember 2010 namun Pengadilan Tinggi Yogyakarta menolak banding Mary Jane dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sleman yang menjatuhkan hukuman mati.
Kuasa hukum Mary Jane juga sempat mengajukan kasasi yang kembali ditolak Mahkamah Agung pada 31 Mei 2011. Hal ini membuat vonis hukuman mati terhadap Mary Jane telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah.
Setelah itu, Mary Jane mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan alasan bahwa hak-haknya sebagai terdakwa tidak terlindungi. Ia membawa bukti yakni penerjemah saat persidangan yang ternyata mahasiswa dan tidak bersertifikasi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat menerima permohonan grasi yang diajukan pemerintah Filipina pada 2011. Hal ini membuat pemerintah menunda hukuman mati terhadap Mary Jane.
Namun usaha tersebut tak bertahan lama. Pemerintah kemudian memasukkan nama Mary Jane ke dalam daftar terpidana mati yang harus dieksekusi pada April 2015.
Rencananya, Mary Jane akan menjalani eksekusi mati pada 29 April 2015 di Nusa Kambangan, bersama beberapa terpidana lainnya. Namun, eksekusi tersebut batal.
Penundaan tersebut terjadi usai pemerintah mendapat desakan dari berbagai elemen masyarakat di dalam dan luar negeri. Mereka mendesak agar pidana mati yang dijatuhkan kepada Mary Jane dibatalkan. Dalam kasus ini, Mary Jane diyakini justru sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Pemerintah juga menyetujui penundaan eksekusi usai mendapat kabar dari pemerintah Filipina tentang penyerahaan diri Maria Kristina Sergio -- orang yang memberikan narkoba dan menyuruh Mary Jane ke Yogyakarta.
Usai pembatalan eksekusi, keluarga Mary Jane dan pemerintah Filipina sempat mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun upaya tersebut ditolak.
Mary Jane justru mendapat peluang memperoleh keringanan hukum pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong Marcos mengatakan, Prabowo sepakat memulangkan Mary Jane ke Filipina dengan sejumlah syarat, termasuk dengan tetap memastikan hukuman berjalan.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengataan pemerintah hanya menyetujui pemindahan narapidana dari Indonesia ke Filipina; atau kebijakan transfer of prisoner. Dia mengklaim Mary Jane akan menjalani hukuman di negaranya sendiri, Filipina.
"Tidak ada kata bebas dalam statemen Presiden Marcos itu. ‘bring her back to the Philippines' artinya membawa dia kembali ke Filipina," kata Yusril melalui keterangan tertulis kepada awak media, Rabu (20/11/2024).
Yusril mengungkap, awalnya pemerintah Indonesia mendapat surat permohonan pemindahan narapidana atas nama Mary Jane Veloso dari Menteri Kehakiman Filipina, Jesus Crispin Remulla. Dalam pembicaraan dengan Duta Besar Filipina di Indonesia, Gina Jamoralin, proses pemindahan diprediksi terjadi pada Desember mendatang.
Menurut dia, Kemenko Hukum dan sejumlah lembaga terkait sudah melakukan pembahasan terhadap permohonan tersebut. Mereka pun telah melaporkan hasilnya kepada Presiden Prabowo yang kemudian menyetujui keputusan pemindahan narapidana tersebut.
(azr/frg)