Logo Bloomberg Technoz

“Memang anak itu tidak bayar (sekolah), yang bayar orang tuanya pajaknya bisa 65%-70% dari income mereka,” kata Sri kala itu. 

Lantas, sudah tepatkah membandingkan kewajiban pajak masyarakat RI dengan orang-orang di negara Nordik itu? Pernyataan SMI dan kelompok pro-kenaikan PPN seolah mengatakan, bila memang ingin negara hadir dalam berbagai bentuk fasilitas sosial terbaik seperti yang dirasakan masyarakat di kawasan Baltik itu, masyarakat Indonesia harus siap dikenakan pungutan pajak yang besar.

Namun, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab terlebih dulu adalah: Benarkah negara selama ini sudah hadir di tengah masyarakat Indonesia hingga berkukuh mengenakan tarif PPN tertinggi se-ASEAN, bahkan ketika kondisi konsumsi masyarakat masih tertekan kelesuan dan jutaan orang merosot perekonomiannya ke kelas di bawahnya? 

Dalam lima tahun terakhir, sebanyak 9,5 juta Kelas Menengah di RI turun kelas jadi Calon Kelas Menengah. Pada saat yang sama, sebanyak  12,72 juta orang Indonesia terdegradasi ke Kelas Rentan Miskin. 

Kemerosotan itu sebagian disinyalir sebagai imbas dari kebijakan yang tidak setara ke semua kelas ekonomi. Kajian yang pernah dilakukan oleh para akademisi di Universitas Indonesia mendapati, pembangunan ekonomi RI selama ini ternyata cenderung menguntungkan kelompok kaya. 

Kajian Growth Incidence Curve (GIC) yang menggambarkan pertumbuhan kesejahteraan tiap-tiap kelompok pendapatan di Indonesia selama periode 2000-2022, mencatat, pada periode Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2000-2004, GIC memiliki kemiringan positif di mana kelompok terkaya mengalami pertumbuhan ekonomi atau kesejahteraan dua kali lebih besar dibandingkan kelompok termiskin. 

Lalu pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama, juga memperlihatkan pola senada namun dengan pertumbuhan lebih rendah. Sedangkan pada periode kedua Presiden SBY, pertumbuhan ekonomi berlangsung sangat tidak inklusif di mana kesejahteraan kelompok terkaya mencapai lebih dari 8% per tahun, tumbuh empat kali lipat lebih cepat dibanding kesejahteraan kelompok termiskin yang hanya 2% per tahun. 

Growth Incidence Curve Berdasarkan Periode 2000-2022 (Bloomberg Technoz)

Bagaimana dengan 10 tahun terakhir? Pada era Presiden Joko Widodo pertama, kelas menengah menikmati pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan dengan kelompok termiskin dan terkaya sehingga Gini Ratio bisa diturunkan jadi 0,380 pada 2019.

Namun, pada periode kedua, pertumbuhan ekonomi tidak lagi inklusif di mana manfaat dari kebijakan atau program pemerintah terfokus hanya pada 20% kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas. Pada saat yang sama, kelompok kelas menengah yang proporsinya mencapai 40%-80% dilupakan, demikian ditulis oleh peneliti. Bahkan, kelompok 60%-80% atau menengah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.

Kebijakan yang hanya berpihak pada kelompok tertentu saja, membuat ketimpangan di Indonesia masih tinggi sampai hari ini. Sudah banyak contohnya.

Yang terbaru, ketika PPN hendak dinaikkan lagi hingga 12% yang dipastikan akan berdampak lebih berat bagi masyarakat dengan pendapatan menengah dan bawah, tiba-tiba muncul RUU Tax Amnesty yang memberikan pengampunan pajak pada para pengemplang yang kebanyakan adalah kaum berduit.

Korupsi Masih Tinggi

Mengutip artikel yang ditulis oleh Geoffrey M. Hodgson, Research Professor Hertfordshire Business School di University of Hertfordshire, satu ciri yang melekat pada negara-negara Nordik hingga mampu menjadi negara sejahtera meski pajak dikenakan sangat besar bagi masyarakatnya, kesemuanya menerapkan sistem sosial-demokrat dengan perekonomian campuran.

"Mereka bukan sosialis dalam pengertian klasik, mereka didorong oleh pasar keuangan dan bukan oleh rencana pusat, akan tetapi negara memainkan peran strategis dalam perekonomian. Mereka memiliki sistem hukum yang melindungi properti pribadi dan perusahaan serta membantu menegakkan kontrak. Negara-negara tersebut adalah negara demokrasi yang memiliki kekuatan checks, balances, dan countervailing power," kata Hodgson.

Negara-negara Nordik merupakan negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia. Berdasarkan data Global State of Democracy Initiative, Swedia dan Denmark menduduki peringkat 1 dan 2 negara paling demokratis di dunia. Sementara Norwegia dan Finlandia menduduki peringkat 7 dan 8. Indonesia pada saat yang sama ada di peringkat 60.

Proyek Kereta Cepat menjadi salah satu contoh proyek infrastruktur mercusuar yang ditengarai banyak masalah termasuk indikasi korupsi (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Bahkan bila memakai data Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi di Indonesia telah merosot ke level terendah dalam 14 tahun pada 2020 lalu dengan skor 6,3. 

Sementara korupsi di negeri kawasan Baltik itu terbilang rendah. Berdasarkan indeks persepsi korupsi yang dilansir Transparency International, Denmark, Finlandia, Norwegia dan Swedia adalah enam negara yang paling sedikit korupsinya di dunia. Denmark ranking 1 dunia dengan skor 90, Finlandia peringkat 2 dengan skor 87, Norwegia peringkat 4 dengan skor 84.

Indonesia berapa? Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia masih buruk, di peringkat 115 dengan skor 34. Pelemahan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), anak kandung Gerakan Reformasi, juga merosotnya marwah Mahkamah Konstitusi, telah melemparkan kepercayaan masyarakat ke titik nadir akan keseriusan pemerintah memberantas korupsi dan maling duit rakyat.

Indeks Persepsi Korupsi diukur memakai skala 1-100. Semakin semakin tinggi skor, mendekati skala 100, artinya risiko korupsi rendah. Sebaliknya, semakin rendah skornya mendekati 0 berarti risiko korupsi tinggi.

Dengan demokratisasi yang terjaga serta korupsi rendah, negara-negara Baltik itu berhasil menciptakan kesejahteraan tinggi. Di Indonesia yang terpampang adalah sebaliknya. Indeks demokrasi rendah, korupsi masih tinggi, kesejahteraan juga rendah, ketimpangan menganga.

Mengacu data IMF (International Monetary Fund), pendapatan per kapita (orang) di Finlandia pada 2024 mencapai US$54.770. Bahkan orang Norwegia memiliki pendapatan US$90.430. Indonesia berapa? Pendapatan per kapita RI tercatat sebesar US$4.919,7, menurut data terakhir yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik pada akhir 2023. Dengan kata lain, pendapatan orang-orang Nordic saat ini sekitar 18,3 kali pendapatan orang Indonesia. 

"Jelas sekali bahwa negara-negara Nordik telah mencapai tingkat kesejahteraan dan kesejahteraan yang sangat tinggi, serta tingkat output ekonomi yang sebanding dengan negara-negara maju lainnya. Hal itu disebabkan oleh tingginya tingkat solidaritas sosial dan perpajakan, serta sistem politik dan ekonomi yang menjaga perusahaan, otonomi ekonomi, dan aspirasi," jelas Hodgson.

Masyarakat Banyak Sumbang Pajak

Apabila menilik data kontribusi pajak masyarakat terhadap anggaran pemerintah, terlihat bila selama ini masyarakat Indonesia berbagai kalangan sebenarnya sudah cukup banyak berperan. 

Mengacu data Badan Pusat Statistik, total penerimaan negara pada 2023 mencapai Rp2.634,14 triliun. Sebanyak Rp2.118,34 triliun atau 80,41% diperoleh dari pungutan pajak.

Sebanyak Rp2.045,45 triliun merupakan Pajak Dalam Negeri, termasuk Pajak Penghasilan sebesar Rp1.040,79 triliun. PPH di sini termasuk PPh 21, PPh 22 impor, PPh Badan, PPh 26, PPh final. 

Lalu, ada juga Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM) yang nilainya tahun lalu mencapai Rp742,26 triliun.

Grafik Pergeseran Prioritas Pengeluaran Kelas Menengah (Bloomberg Technoz)

Dengan kata lain, mayoritas penerimaan negara dalam bentuk pajak, yang menjadi sumber utama membiayai APBN, berasal dari pajak yang dibayarkan oleh para pengusaha (pajak badan usaha), para pekerja (pajak penghasilan), bahkan para pengangguran (pajak pertambahan nilai). PPN dikenakan atas barang-barang yang dibeli oleh masyarakat tak peduli statusnya apakah miskin, kaya, bekerja atau pengangguran.

Sementara pada saat yang sama, Penerimaan Bukan Pajak hanya sebesar Rp515,8 triliun. Penerimaan Sumber Daya Alam bahkan cuma Rp223,31 triliun. Padahal Indonesia sering disebut sebagai negara kaya SDA yang seharusnya bisa memakmurkan masyarakat yang hidup di atas tanahnya.

Dengan potret itu, masyarakat sejatinya sudah cukup berkontribusi terhadap pembangunan melalui pembayaran aneka jenis perpajakan. Masyarakat berada dalam posisi menunggu adakah sumbangan yang sudah ia berikan sudah dikembalikan dalam layanan dan kehadiran negara yang adil dan merata. 

Masyarakat, terutama kelas menengah sebagai penyumbang konsumsi terbesar di Indonesia sekaligus kontributor pajak yang tidak kecil, justru perlu diyakinkan bahwa kebijakan perpajakan yang menerapkan tarif tinggi akan dikembalikan menjadi manfaat bagi mereka.

Bila masyarakat bisa diyakinkan bahwa pajak tinggi itu akan dikembalikan pada mereka dalam bentuk fasilitas publik yang berkualitas, kehadiran negara yang nyata, alih-alih dikorupsi atau habis untuk hal-hal yang tidak bisa mereka nikmati; pajak setinggi negara Nordik pun bisa diterapkan. Kepercayaan dulu, baru kenakan pajak tinggi. Bukan sebaliknya.

"Voice or Exit. Bila kelas menengah percaya bahwa pemerintah bekerja demi kepentingan mereka, maka mereka akan menyuarakan tuntutan dan setuju membayar pajak sebagai imbalan atas layanan yang lebih berkualitas. Sebaliknya, bila kelas menengah tidak percaya, mereka akan berusaha keluar dari layanan pemerintah dan perpajakan sehingga memicu kerugian besar bagi sebagian besar masyarakat miskin dan calon kelas menengah yang butuh layanan publik berkualitas," kata Bank Dunia dalam kajiannya yang dilansir 2020 lalu.

Gerakan #TolakPPN12 dan ajakan untuk frugal living dengan mengurangi belanja barang yang terkena pajak, sebaiknya dicermati sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat bahwa uang pajak yang mereka bayarkan akan bermanfaat bagi kehidupan mereka.

(rui/aji)

No more pages