Ironi RI: Pajak Tinggi, Tapi Korupsi Masih di Sana-sini
Ruisa Khoiriyah
21 November 2024 17:15
Bloomberg Technoz, Jakarta - Penolakan terhadap kenaikan tarif Pajak Penambahan Nilai (PPN) yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 makin kencang di tengah masyarakat. Di media sosial, tagar #TolakPPN12 berulang menjadi trending topics mencerminkan penolakan akan kebijakan mengingat saat kondisi masyarakat sudah tertekan konsumsinya sejak setahun terakhir.
Namun, pemerintah RI sepertinya masih berkukuh memastikan kebijakan itu berjalan, karena terdesak kebutuhan menggenjot penerimaan demi membiayai rencana belanja dan pembayaran utang negara yang tidak kecil di depan sana.
Di sebagian suara yang pro dengan langkah kenaikan PPN tersebut, ada yang menilai tarif PPN yang mahal menjadi konsekuensi bila masyarakat ingin menjadi Negara Kesejahteraan alias welfare state sebagaimana terlihat di negara-negara Nordik yaitu negara-negara di kawasan Eropa Utara sekitar Laut Baltik mencakup Finlandia, Islandia, Norwegia, Swedia, dan Denmark.
Hal serupa pernah juga diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah forum publik pada akhir Mei lalu.
SMI, demikian Bendahara Negara itu biasa disebut, menyatakan, bila ingin pendidikan gratis dari level dasar hingga perguruan tinggi, masyarakat harus siap dengan tarif pajak lebih tinggi seperti di negara-negara Nordik di mana pajaknya bahkan bisa mencapai 70%. Namun, semua kebutuhan dasar dan jaring pengaman sosial gratis, mulai dari kesehatan hingga pendidikan.