Harga BBM
Bahkan, kata Moshe, harga bahan bakar minyak (BBM) juga berisiko terdampak dari kenaikan PPN menjadi 12% tersebut, karena BBM juga melewati proses penyulingan minyak hingga sampai didistribusikan ke tingkat konsumen.
“Karena apapun kenaikan biayanya, pasti kan biasanya akan diiringi oleh kenaikan harga untuk konsumen. Semua pebisnis itu kan mau menjaga pendapatannya. Enggak ada yang mau bisnis tuh pendapatannya turun. Ya [caranya] menjaga itu, dia melemparkan ke biaya tambahan, ya dilemparkan ke pelanggan,” tutur Moshe.
Di sisi lain, Moshe juga menyayangkan kebijakan kenaikan PPN 12% tersebut karena, dalam segala hal, kondisi ekonomi Indonesia memperlihatkan keadaan yang tidak baik. Konsumsi rumah tangga melambat serta angka kemiskinan masih tinggi.
Langkah menaikkan PPN menjadi 12% dinilai kontraproduktif dengan rencana pertumbuhan ekonomi yang diinginkan Presiden Prabowo Subianto sebesar 8% dalam lima tahun ke depan. Seharusnya, menurut Moshe, pemerintah dapat memberikan insentif kepada pelaku industri bukan menaikkan pajak.
Atasi Kebocoran
Menurut Moshe, pemerintah seharusnya dapat memperbaiki tata kelola sektor sumber daya alam (SDA), alih-alih menaikkan PPN, untuk menambah pendapatan negara yang bocor dari aktivitas pengeboran minyak dan pertambangan ilegal.
Jika pemerintahan era Prabowo serius memperbaiki tata kelola sektor migas dan tambang, lanjutnya, ratusan triliun rupiah bisa terselamatkan untuk masuk ke kas negara.
“Pak Prabowo kan selalu pada saat kampanye bilang 'bocor, bocor' [akibat pengeboran dan penambangan ilegal]. Nah, kebocoran ini terus terang harus ditambal karena itu yang mengurus APBN kita. Kalau ini semua ditambal, bisa dikurangi secara berkala sebenarnya nggak perlu [PPN] naik 12%,” ujarnya.
“Bocor ratusan triliun rupiah, tetapi untuk mengompensasinya, rakyat justru dimintain pajak lebih banyak lagi. Jadi kontraproduktif karena sekarang ekonomi lagi lesu. Kondisi dunia juga lagi enggak bagus. Jadi, sayang kalau ada kebijakan seperti ini [PPN 12%],” imbuh Moshe.
Sekadar catatan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatatkan penerimaan negara dari sektor hulu migas tahun ini sudah mencapai US$12,7 miliar (sekitar Rp201,30 triliun) per 31 Oktober 2024.
Angka itu merangkum pencapaian sebesar 98% dari target yang ditetapkan sepanjang 2024 yakni US$12,9 miliar atau sekira Rp204,06 triliun.
“Alhamdulillah. Kami memiliki outlook, bahwa pada akhir tahun ini penerimaan negara [dari hulu migas] bisa menyentuh angka di atas US$14 miliar [sekitar Rp221,46 triliun],” kata Kepala SKK Migas Djoko Siswanto dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, awal pekan ini.
Meski penerimaan negara dari hulu migas sudah hampir memenuhi target, realisasi investasi di sektor ini masih belum cukup bertaji.
Investasi hulu migas per akhir Oktober baru mencapai US$10,3 miliar (sekitar Rp163,2 triliun). Capaian itu masih jauh dari target sampai akhir tahun ini senilai US$ 17,7 miliar (sekitar Rp280,01 triliun). Bahkan, sampai dengan Desember, SKK Migas memperkirakan investasi hulu migas tidak akan mencapai target anual.
Adapun, Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya memastikan PPN akan naik dari 11% menjadi sebesar 12% sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menjelaskan bahwa bahwa tarif PPN sebesar 12% berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Terhitung, kurang dari dua bulan sebelum tenggat PPN 12% berlaku sebagaimana bunyi undang-undang tersebut, hingga saat ini pemerintah belum menentukan akan melaksanakan atau menunda kebijakan PPN. Kepala Negara pun belum menerbitkan aturan turunan dari UU tersebut.
(mfd/wdh)