Keterlibatan rudal AS yang digunakan Ukraina untuk menyerang sasaran-sasaran di Rusia, menempatkan dunia dalam risiko Perang Dunia III, menghadapkan dua musuh bebuyutan yakni AS vs Rusia. Ukraina juga memakai rudal pemberian Inggris untuk menyerang Rusia, berpotensi menyeret konflik lebih luas.
Selain itu, pernyataan pejabat The Fed yang agak hawkish juga menekan harga surat utang AS, Treasury, hingga imbal hasilnya kembali meningkat.
Gubernur the Fed Lisa Cook menyatakan bahwa tekanan inflasi core di negeri itu masih tetap meningkat, meskipun peluang pemangkasan suku bunga masih terbuka akibat risiko pelemahan pasar tenaga kerja. Itu yang membuat tingkat imbal hasil Treasury bergerak dengan pola bearish flattening merespon kemungkinan tersebut.
Yield UST-2Y naik 3.4 bps menjadi 4,31% yang diikuti yield 10Y naik 1,4 bps menjadi 4,41% dan yield 30Y bergerak naik 1,6 bps menjadi 4,60%.
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi melemah ke level Rp15.900/US$ sampai dengan Rp15.950/US$. Rupiah memiliki support terkuat di Rp16.000/US$ yang menjadi level psikologis.
Sementara trendline terdekat pada time frame daily menjadi resistance potensial pada level Rp15.840/US$. Kemudian, target penguatan optimis lanjutan untuk dapat kembali menguat ke level Rp15.800/US$.
Selama rupiah bertengger di atas Rp15.950/US$ usai tertekan, maka ada potensi untuk lanjut melemah dalam tren jangka menengah (Mid-term) di mana rupiah berpotensi melemah ke Rp16.020/US$.
Namun sebaliknya, apabila terjadi penguatan hingga Rp15.800/US$ rupiah berpotensi terus menguat hingga Rp15.750/US$ sampai dengan Rp15.700/US$.
Arah BI rate
Keputusan Bank Indonesia mempertahankan BI rate sudah sesuai dengan ekspektasi pasar. Akan tetapi, nada hawkish yang kuat dalam briefing bank sentral kemarin, melontarkan sinyal kewaspadaan bagi pasar.
Ada risiko bunga acuan domestik kembali meningkat terutama bila sentimen risk-off di pasar global makin memantik arus keluar modal asing dari Indonesia.
Gubernur BI Perry Warjiyo memastikan stance kebijakan moneter bank sentral ke depan adalah fokus pada stabilitas rupiah, di tengah peningkatan risiko inflasi global dan tekanan arus keluar modal asing akibat perubahan rezim di AS.
Peluang penurunan BI rate semakin sempit bahkan bukan tidak mungkin dalam 12 bulan ke depan ada potensi kenaikan bunga acuan lagi, menurut Ekonom Bloomberg Economics Tamara Henderson. Terutama bila dolar AS semakin perkasa dan tingginya imbal hasil di AS menguras likuiditas dari pasar-pasar emerging.
BI terdesak untuk memberikan pesan pada pelaku pasar bahwa saat ini dan ke depan, mereka akan melakukan segala upaya untuk memastikan stabilitas rupiah bisa terjaga.
Termasuk di antaranya menggelontorkan intervensi langsung ke pasar valas serta surat utang, juga mengoptimalkan operasi moneter memakai berbagai instrumen yang ada saat ini.
Pesan itu menjadi hal penting supaya para pemodal, terutama asing, tetap bisa diyakinkan untuk menahan dana di Indonesia.
Pasalnya, ada indikasi asing semakin tidak meminati penempatan di instrumen andalan BI dalam menjaga rupiah belakangan ini, yaitu Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Mengacu data statistik, penempatan asing di SRBI sudah melorot sedikitnya Rp4,39 triliun menjadi tinggal Rp250,18 triliun per 18 November. Proporsi kepemilikan asing di SRBI yang memberikan bunga tinggi itu juga anjlok tinggal 25,82% dari sebesar 27,23% pada bulan sebelumnya.
Pada saat yang sama, investor lokal semakin tinggi kepemilikannya di SRBI sebesar Rp38,34 triliun dalam sebulan terakhir atau naik 5,34% menjadi Rp718,64 triliun. Laju kepemilikan SRBI oleh lokal yang melampaui asing, akan memantik situasi crowding out lebih rumit. Para bankir sudah banyak mengeluhkan keketatan likuiditas akibat SRBI tersebut.
(rui)