Logo Bloomberg Technoz

Pada saat yang sama, investor lokal semakin tinggi kepemilikannya di SRBI sebesar Rp38,34 triliun dalam sebulan terakhir atau naik 5,34% menjadi Rp718,64 triliun. Laju kepemilikan SRBI oleh lokal yang melampaui asing, akan memantik situasi crowding out lebih rumit. Para bankir sudah banyak mengeluhkan keketatan likuiditas akibat SRBI tersebut.

"Proyeksi penurunan suku bunga Bank Sentral AS yang baru pada tahun 2025 bukanlah alasan utama di balik sikap hawkish BI. Sebaliknya, hal ini didorong oleh fakta bahwa investor asing mengurangi kepemilikan SRBI mereka dalam sebulan terakhir ketika nvestor domestik meningkatkan pembelian," kata Lionel Priyadi, Macro Strategist Mega Capital Sekuritas dalam catatannya usai hasil RDG BI diumumkan kemarin.

Minat investor terhadap dua instrumen tenor pendek lain, yakni Sekuritas Valas (SVBI) dan Sukuk Valas (SUVBI) juga turun seperti yang terlihat dalam lelang pada 19 November lalu. Dalam lelang itu, meskipun BI menaikkan tingkat diskonto tenor 1 bulan hingga 12 bps yakni menjadi 4,95%, jumlah penawaran yang masuk tetap turun hingga 43,24% tinggal US$235 juta.

Analis mencatat, terakhir kali SRBI & SVBI kehilangan daya tarik adalah pada bulan Maret dan April, ketika pelemahan nilai rupiah mencapai puncaknya. Overshooting nilai tukar rupiah baru berakhir setelah BI menaikkan suku bunga kebijakannya sebesar 25 bps menjadi 6,25% pada bulan April lalu.

"Tampaknya investor, terutama investor asing, mengantisipasi depresiasi rupiah yang akan berlanjut hingga Desember," kata Lionel.

Lantas, bagaimana bila SRBI semakin ditinggalkan oleh asing meski terus menawarkan tingkat bunga yang tinggi? Playbook umum adalah mengerek lagi bunga acuan BI rate, yang kini sudah mulai diantisipasi oleh sebagian pelaku pasar setidaknya dalam 12 bulan ke depan.

"Namun, menaikkan bunga acuan akan buruk bagi perekonomian domestik," kata Lionel.

Pengetatan moneter selama ini sudah memperlambat laju pertumbuhan ekonomi di mana konsumsi rumah tangga kian tertekan. Dengan sejumlah kebijakan pemerintah yang potensial makin membebani pengeluaran masyarakat ke depan, kenaikan BI rate lagi adalah hal terakhir yang ingin didengarkan oleh orang Indonesia.

Bunga acuan yang kembali naik ketika daya beli sudah begitu lesu, hingga sempat terjadi deflasi beruntun selama lima bulan, akan menjadi double kill yang potensial membawa perekonomian semakin ambles. 

Cara lain agar tekanan terhadap rupiah masih bisa ditahan tanpa mengerek bunga acuan, menurut analis, adalah melakukan intervensi langsung ke pasar. Meski hal itu akan terbatas karena bagaimanapun nilai cadangan devisa ada batasnya. 

BI kini berupaya agar rupiah tetap terjaga di kisaran Rp15.700-Rp16.100/US$ dengan berbekal cadangan devisa likuid lebih besar diperkirakan mencapai US$135.81 miliar pada Oktober dari total cadangan devisa akhir bulan lalu sebesar US$151,2 miliar.

Bila dibandingkan nilai cadangan devisa likuid pada Maret dan April yang masing-masing sebesar US$126,43 miliar dan US$121,99 miliar, angka terakhir seharusnya memberikan kepercayaan diri lebih besar bagi bank sentral. Terlebih, Pemerintah RI baru saja menjual sukuk global senilai US$2,75 miliar yang bisa semakin memperkuat cadangan devisa.  

Kebijakan DHE 

Penyiapan sejumlah pengimbang tekanan terhadap rupiah memang tidak bisa hanya mengandalkan jurus moneter semata kendati mandat stabilisasi nilai tukar memang menjadi tugas bank sentral sesuai amanat Undang-Undang.

Rupiah bisa lebih bertahan bila secara fundamental juga kuat. Pasokan valas dari kegiatan ekspor, remitansi devisa oleh para pekerja migran, juga optimalisasi industri pariwisata, menjadi saluran penyuplai yang sangat diharapkan. 

Pada 2023 lalu, pemerintah RI sudah sedikit maju dengan kebijakan mandatori penempatan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam di perbankan dalam negeri. Meski kebijakan itu bisa dibilang agak telat karena booming komoditas sudah memuncak pada 2022. 

Hanya saja, sejauh ini kebijakan DHE tidak cukup bergigi membantu penguatan nilai tukar karena penempatan valas di dalam negeri tak lebih dari tiga bulan.

Berdasarkan data BI terakhir, sampai 20 Agustus lalu, penempatan Term Deposit Valas DHE SDA di perbankan dalam negeri hanya sebesar US$2,1 miliar. Angkanya stagnan karena pada Maret lalu angkanya juga di kisaran US$1,9 miliar. 

Cadangan devisa RI pun meski menyentuh rekor, belum berhasil memecahkan angka US$300 miliar sebagaimana pernah dilansir Luhut Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi di Kabinet Presiden Joko Widodo.

Pemerintah Presiden Prabowo Subianto terakhir menyatakan, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, ada rencana untuk memberikan tambahan insentif bagi eksportir yang menempatkan DHE di dalam negeri seiring dengan wacana memperpanjang periode penempatan wajib lebih dari tiga bulan.

(rui/aji)

No more pages