Logo Bloomberg Technoz

Jakarta - Di tengah perkembangan gaya hidup modern, generasi muda Indonesia menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan keuangan pribadi. Salah satu fenomena yang kerap tidak disadari namun berdampak signifikan adalah 'Latte Factor', yaitu kebiasaan melakukan pengeluaran kecil namun rutin yang secara akumulatif dapat menggerus stabilitas finansial.

Istilah 'Latte Factor' pertama kali diperkenalkan oleh pakar keuangan David Bach untuk menggambarkan pengeluaran harian yang tampak sepele, seperti membeli kopi, langganan streaming, atau makanan ringan. Meskipun nominalnya kecil, jika dijumlahkan dalam jangka panjang, pengeluaran ini dapat mencapai angka yang signifikan dan menghambat kemampuan menabung atau berinvestasi. 

Direktur Bisnis Konsumer Bank Rakyat Indonesia (BRI), Handayani, mengungkapkan bahwa banyak anak muda terjebak dalam tren 'Latte Factor'. "Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pengeluaran kecil yang terlihat sepele seperti kopi, langganan streaming, atau makanan kekinian. Meski terlihat sepele, jika dijumlahkan nilainya bisa bikin dompet jebol," ujarnya. 

Handayani memberikan contoh bahwa perencanaan keuangan bisa dimulai dari hal yang sederhana, yaitu membedakan kebutuhan dan keinginan.

“Kebutuhan adalah hal-hal mendasar yang penting untuk kelangsungan hidup. Jika tidak ada, tidak bisa menjalani kehidupan sehari-hari. Contohnya rumah, pakaian, makanan dan minuman, biaya kesehatan dan lain-lain. Sementara itu, keinginan adalah hal-hal yang masih bisa diganti dengan barang lainnya. Jika tidak ada, tidak mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Misalnya saja barang branded, gadget keluaran terbaru, dan sebagainya,” lanjutnya.

Fenomena lain dalam tren keuangan di era modern ini adalah maraknya pinjaman online atau pinjol. “Saat ini cukup banyak generasi muda yang terjerat pinjol. Berdasarkan data OJK karyawan dan pelajar merupakan profesi yang banyak terjerat pinjol (12%), di mana didominasi oleh generasi muda.” jelas Handayani. 

Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat khususnya anak muda terjebak pinjol, salah satunya karena kemudahan akses teknologi dan internet.

“Pinjaman online biasanya menawarkan skema pengajuan yang praktis, syarat mudah, dan approval instan sehingga lebih banyak diminati. Selain itu, kondisi finansial yang tidak stabil membuat mereka tidak siap dengan adanya kebutuhan mendesak. Belum lagi gaya hidup konsumtif yang membuat pengaturan keuangan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akses informasi terkait pinjaman formal dan edukasi keuangan yang kurang membuat mereka dengan mudah tergiur untuk mengajukan pinjol,” jelas Handayani.

(tim)

TAG

No more pages