Tidak Terasa
Ronny berpendapat jika pemerintah memang akan mengalihkan subsidi BBM untuk BLT, harga Solar dan Pertalite memang sudah sepatutnya dilepaskan mengikuti mekanisme pasar. Akan tetapi, proses peralihan tersebut sebaiknya dilakukan bertahap.
“Kalau totally dilepaskan, besar risikonya. Saya menyarankan melepas subsidinya pelan-pelan. Dilepas Rp500 perak, lalu Rp1.000 perak. Mungkin sampai 3—4 tahun untuk [benar-benar] lepas [dari subsidi], biar masyarakat tidak terlalu merasakan imbasnya,” tutur Ronny.
“Misalnya, kenaikan harganya Rp500, lalu tunggu 6 bulan, lalu baru naik lagi Rp500; berarti setahun sudah naik Rp1.000. Itu akan jadi tidak terasa. Lalu, tahun depannya, dinaikkan lagi dua kali seperti itu. Menurut saya, solusinya bukan dihajar langsung dihilangkan [subsidinya].”
Lebih lanjut, dia menilai logika pemerintah bahwa masyarakat kelas menengah tidak berhak mengonsumsi BBM bersubsidi adalah sebuah kekeliruan.
Meski subsidi memang sebaiknya menyasar masyarakat yang benar-benar tidak mampu, kalangan masyarakat menengah yang tadinya ‘mampu’ bisa terancam berubah menjadi ‘tidak mampu’ jika mereka tidak boleh lagi mengakses BBM bersubsidi.
Untuk itu, dia menggarisbawahi, pemerintah perlu membuat peta jalan penghapusan subsidi dengan tetap peka terhadap kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat.
“Menurut saya, subsidi itu dicabut, tetapi pelan-pelan. Mungkin ditetapkan dalam 3—4 tahun ke depan Indonesia sudah harus lepas dari subsidi, dengan beberapa kali tahapan pencabutan. Itu bisa jadi opsi yang jauh lebih baik, sehingga tidak terasa oleh masyarakat, dan tidak terlalu banyak [dana] BLT yang dibutuhkan karena [subsidi BBM] dicabutnya kecil-kecil.”
Menurut saya, solusinya bukan dihajar langsung dihilangkan [subsidinya].
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita
Senada, ekonom energi dari Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti memperhitungkan harga bensin Pertalite bisa naik hingga 20% jika wacana pemerintah mengganti skema subsidi BBM menjadi BLT benar-benar diterapkan secara penuh.
“Mungkin sekitar ya paling tinggi itu 20%. Jadi, ya kalau misalkan sekarang Rp10.000/liter, ya berarti paling Rp12.000/liter atau sampai Rp13.000/liter,” ujarnya.
Demikian halnya dengan harga Solar, yang berpotensi naik 20% menjadi Rp8.160/liter dari saat ini Rp6.800/liter jika subsidinya dialihkan ke BLT.
Menurut Yayan, wacana mengganti skema subsidi atau bahkan menaikkan harga BBM saat ini dinilai kurang tepat karena tidak sesuai dengan momentum kondisi perekonomian masyarakat.
Utak-atik skema subsidi BBM dan listrik juga dinilai makin membebani mayoritas masyarakat Indonesia ke depan, yang sudah terancam beban-beban lain mulai dari kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025, tarif BPJS Kesehatan, hingga isu kewajiban iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan diberlakukan bagi seluruh pekerja.
Selain itu, skema BLT sebagai pengganti subsidi BBM dinilai tidak efektif karena data yang digunakan cenderung tidak akurat. Walhasil, risiko penyaluran bantuan tidak tepat sasaran atau meleset dari target kembali menganga.
“Jadi mungkin kalau misalkan ingin lebih baik nantilah, kalau misalkan momennya subsidi itu bisa dicabut ya. Jadi dengan kondisi saat ini, alangkah baiknya pemerintah mempertimbangkan kembali terhadap penghapusan subsidi,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan timnya sudah mengidentifikasi tiga jenis formulasi peralihan subsidi energi, seperti BBM dan listrik, yang ditawarkan untuk diputuskan pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Bahlil mengatakan tiga jenis formulasi peralihan subsidi energi itu dihasilkan usai dirinya ditunjuk untuk memimpin tim dalam menentukan formulasi subsidi energi yang tepat sasaran, di mana rapat sudah dilakukan sebanyak 2—3 kali.
Pertama, mengalihkan subsidi energi berbasis kuota atau barang menjadi bantuan langsung tunai (BLT). Namun, Bahlil tidak menampik formulasi ini bakal membuat rumah sakit, sekolah, gereja, dan masjid tidak lagi mendapatkan subsidi listrik.
Selain itu, formulasi pertama bakal membuat transportasi umum tidak lagi mendapatkan subsidi BBM.
Maka, kata Bahlil, timnya membuat formulasi kedua yaitu dengan mempertahankan subsidi berbasis barang atau kuota untuk fasilitas umum untuk menahan inflasi. Selebihnya, subsidinya tetap dialihkan menjadi BLT.
"Alternatif ketiga adalah kita lagi memformulasikan agar sebagian yang disubsidi barang itu bisa dinaikkan angkanya," ujarnya.
(wdh)