Dalam risetnya, Riefky menjelaskan bahwa rumah tangga kaya atau 20% terkayaa menanggung 5,10% dari pengeluaran untuk tarif PPN 10% pada periode 2020-2021. Sementara rumah tangga miskin atau 20% masyarakat termiskin menanggung 4,15% dari pengeluarannya.
Setelah kenaikan tarif PPN 11% di 2022-2023, rumah tangga kaya memikul 5,64% dari pengeluaran untuk PPN. Sedangkan rumah tangga miskin hanya 4,79% dari pengeluarannya.
Meskipun proporsi PPN yang ditanggung rumah tangga kaya lebih besar, namun kenaikan tarif PPN menjadi 11% memberi beban lebih berat bagi rumah tangga miskin karena poin persentase kenaikan yang lebih tinggi.
Apabila dibandingkan pada periode 2022-2023 dengan periode 2020-2021 maka rumah tangga miskin atau 20% kelompok terbawah mengalami peningkatan porsi pengeluaran untuk PPN sebesar 0,71%. Sementara rumah tangga kaya hanya 0,55%.
Fenomena tersebut juga terlihat pada perhitungan berdasarkan kelas pendapatan, Riefky menjelaskan bahwa dalam kurun waktu 2020-2023 kelompok termiskin mengalami peningkatan poin persentase pengeluaran PPN sebesar 0,84 poin persentase.
Selanjutnya, kelompok rentan 0,87 poin persentase. Sementara kelompok menengah tercatat mengalami kenaikan lebih rendah yakni 0,61 poin persentase. Serupa, kelompok terkaya juga hanya naik 0,61 poin persentase.
“Skenario ini dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok-kelompok rentan,” tegas Riefky.
(ain)