Logo Bloomberg Technoz

Tingginya imbal hasil investasi di AS akan menyedot dana global kembali menyerbu pasar keuangan negeri itu, meninggalkan pasar emerging market dalam 'kekeringan' sebagaimana yang pernah terjadi pada episode 2022 ataupun era taper tantrum 2013 silam.

Keputusan Bank Indonesia pada siang hari ini mempertahankan lagi BI Rate di 6% untuk bulan kedua, diyakini sebagai awal dari mungkin terjadinya serial pengetatan baru ke depan.

Meski berulang menyatakan, tidak menutup sama sekali ruang penurunan BI rate terutama dengan menimbang perkembangan inflasi, Gubernur BI Perry Warjiyo juga berulang-ulang menandaskan, fokus utama BI adalah stabilitas dengan fokus pada nilai tukar.

"Monetary policy kami tetap pro stability and growth dengan fokus ke nilai tukar. Ruang penurunan suku bunga masih ada tapi ruangannya tidak sebesar dulu dan kita semua harus sabar dengan 'r' lebih panjang," kata Perry setengah berseloroh kala menjawab pertanyaan para jurnalis.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo saat konfresin pers RDG. (Bloomberg Technoz/Azura)

Perry menyatakan, bukan berarti bank sentral tidak mendorong pertumbuhan ekonomi. "Kami dorong growth tetapi bukan dari moneter melainkan dari [kebijakan] makroprudensial melalui insentif likuiditas untuk penyaluran kredit ke sektor-sektor prioritas," kata Perry.

Bunga Global Tetap Tinggi

Dua hal yakni prospek bunga acuan AS serta risiko defisit fiskal, menjadi dua hal yang mengubah total arah kebijakan ke depan.

BI yang semula memprediksi akan terjadi penurunan FFR sebanyak 75-100 bps pada 2025, kini memperkirakan penurunannya hanya sebesar dua kali saja tahun depan. Dengan mengasumsikan FFR pada Desember kembali dipangkas 25 bps, ditambah prediksi dua kali penurunan lagi, maka tingkat bunga acuan AS diperkirakan akan ada di kisaran 3,75%-4% pada 2025. 

Sementara kebijakan ekspansif Trump akan mendorong kebutuhan belanja lebih banyak hingga mengerek tingkat defisit fiskal negeri terbesar itu ke level 7,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dari tadinya di level 6,5%, menurut hitungan BI.

"Defisit fiskal AS yang tinggi mendorong penerbitan surat utang lebih banyak. Bila surat utang terbit lebih banyak, yield akan naik di mana saat ini sudah naik. Tadi ada kata-kata yield Treasury tidak turun malah kembali meningkat dalam jangka pendek maupun panjang kami prediksi tenor 2Y yang pernah di 3,7% bisa naik ke 4,5% tahun depan, sedangkan UST-10Y kemungkinan naik ke 4,7%," kata Perry.

Dana global akan kembali tersedot ke AS dan melambungkan lagi pamor dolar AS. Indeks dolar AS kini sudah di atas 106. "Ini proses yang dinamakan  mulai mengarah keseimbangan baru," kata Perry. 

Menurut Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson, paparan RDG siang ini memupus peluang penurunan BI rate pada Desember.

Trump Trade melambungkan dolar AS dan melibas mata uang lawannya, termasuk rupiah (Bloomberg)

"Meski BI bilang terus mencari peluang pemangkasan suku bunga, namun menurut kami langkah selanjutnya bisa ke arah lain, yakni kenaikan. Kami tidak menutup kemungkinan ada kenaikan BI rate dalam 12 bulan ke depan jika kekuatan dolar AS mulai menguras likuiditas atau perkembangan geopolitik memantik risk-off," katanya.

Ekonom juga meragukan akan ada peluang penurunan BI rate pada semester 1-2025. Pasar global kemungkinan akan lebih bergejolak pada periode tersebut sejurus dengan Trump yang dilantik resmi dan mulai mewujudkan janji-janji kampanyenya.

"Diperlukan pelemahan indeks dolar AS dan imbal hasil Treasury yang luar biasa untuk BI bisa kembali ke siklus pelonggaran. Bahkan jika dolar AS melemah sejalan dengan tren historis 7 tahun terakhir, kemungkinan gerak rupiah akan di kisaran Rp15.500-Rp15.600/US$," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro, yang juga tidak melihat ada peluang penurunan BI Rate di sisa tahun ini.

Namun, pada 2025, menurutnya masih ada peluang penurunan BI rate jadi 5,5% dengan asumsi ada pelemahan teknikal dolar AS pada awal tahun depan.

Kembali Tersandera

Para pejabat bank sentral di seluruh dunia, yang selama dua tahun terakhir 'tersandera' kebijakan bunga acuan AS, di mana sentimen di seputar itu telah memicu volatilitas luar biasa di pasar dan berefek tidak remeh terhadap sektor riil di masing-masing negara, dipaksa menghadapi 'kepusingan' lagi ke depan gara-gara keterpilihan Trump.

Pemimpin Dunia yang Diuntungkan & Dirugikan usai Kembalinya Trump (Bloomberg Technoz/Asfahan)

Kebijakan-kebijakan Trump akan melahirkan dua risiko utama yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia dan lonjakan inflasi AS yang kembali lagi akan memperlambat laju penurunan bunga The Fed.

Hasilnya adalah yang terpampang selama dua tahun terakhir: dolar AS yang kuat akan membuat bank sentral di negara berkembang turut mengerek bunga acuan agar mata uangnya bertahan, dan kesulitan melakukan pelonggaran bahkan ketika perekonomian domestik tertekan membutuhkan stimulasi.

Itulah yang telah dihadapi oleh Bank Indonesia sejak 2022 silam dan masih menyandera bank sentral sampai hari ini. Di satu sisi, inflasi sudah begitu rendah yakni di angka 1,71% pada Oktober, jauh di bawah median target BI tahun ini di 2,5%.

Pengetatan yang dilakukan oleh BI sejak 2022 lalu dan baru sempat dipangkas satu kali pada September, terbukti telah berdampak pada memperlambat ekonomi domestik.

Pertumbuhan ekonomi sejak BI rate dikerek naik secara spartan mulai Agustus 2022 silam, rata-rata tercatat di kisaran 5,12% dan menyentuh level terendah setahun ini pada kuartal III-2024, dengan pertumbuhan hanya 4,95% akibat pelemahan konsumsi rumah tangga.

Likuiditas Kian Ketat

Dalam penjelasannya yang bernada hawkish, Perry juga menegaskan akan semakin mengandalkan instrumen moneter jangka pendek sebagai jurus stabilisasi nilai tukar. Yaitu, SRBI, SVBI, dan SUVBI.

Tiga instrumen itu, terutama SRBI, menjadi senjata utama menarik modal asing masuk dengan memberi imbal hasil tinggi, terakhir sudah di 7,07% untuk tenor 12 bulan. 

Agresivitas pemakaian SRBI yang sudah dijual sebanyak Rp968,82 triliun hingga 18 November lalu, sejauh ini telah memicu masalah baru di perbankan. Likuiditas dikeluhkan mengetat sehingga memantik kenaikan biaya dana (cost of fund) yang menggerus margin perbankan.

Fiskal pun Ketat

Ketika kebijakan moneter terhadang ancaman eksternal hingga sulit untuk dilonggarkan, pada saat yang sama perekonomian domestik juga dihadapkan pada risiko pelemahan lebih lanjut akibat berbagai pungutan baru yang potensial menekan daya beli masyarakat dan memantik inflasi.

Kenaikan tarif PPN, penyesuaian subsidi BBM menjadi bantuan tunai, dan sejumlah kebijakan dinilai akan semakin menekan konsumsi rumah tangga. 

Toh BI masih mempertahankan prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini akan berada di kisaran 4,7%-5,5% dan akan meningkat pada tahun depan. Sementara inflasi tahun 2025 diprediksi terjaga di 1,5%-3,5%.

(rui/aji)

No more pages