Naik 30%
Ronny menerangkan selama ini bahan bakar bersubsidi—terutama jenis BBM khusus penugasan (JBKP) Pertalite — lebih banyak dikonsumsi masyarakat kelas menengah dan menengah-bawah.
Di sisi lain, menurutnya, wacana pengalihan subsidi BBM ke format BLT sangat rentan memicu kenaikan harga Pertalite dan jenis BBM tertentu (JBT) Solar hingga 30% dari harga saat ini—yaitu masing-masing Rp10.000/liter dan Rp6.800/liter — yang ditopang anggaran subsidi dan kompensasi.
Hal tersebut praktis menimbulkan tekanan tambahan bagi masyarakat kelas menengah—yang selama ini menjadi tulang punggung konsumsi rumah tangga — lantaran harga barang lainnya rawan ikut terseret naik, sedangkan pendapatan mereka makin tergerus.
Bahkan, sambungnya, tidak menutup kemungkinan akan ada lebih banyak masyarakat kelas menengah yang turun kelas ke level menengah-bawah atau bawah akibat risiko-risiko tekanan tersebut.
Belum lagi, mulai tahun depan, masyarakat dihadapkan pada sejumlah kebijakan yang berpotensi makin mencederai konsumsi dan daya beli, seperti; kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% per 1 Januari 2025, iuran BPJS Kesehatan, serta wacana pungutan wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bagi seluruh pekerja.
“Inilah, menurut saya, yang menyebabkan tahun ini mungkin sampai pertengahan tahun depan, masyarakat agak kurang bisa menerima apapun bentuk kebijakan pencabutan subsidi yang menyebabkan kenaikan harga BBM,” ujar Ronny.
Jika subsidi BBM dialihkan menjadi BLT secara drastis, Ronny berpendapat, tidak menutup kemungkinan konsumsi rumah tangga—yang berkontribusi 55% terhadap pertumbuhan ekonomi — akan kian kandas.
Apalagi, per kuartal III-2024 saja, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) gagal mencapai 5% sebagai refleksi dari tekanan daya beli masyarakat.
“Jadi menurut saya opsi apapun itu, [dampaknya] jelas akan kena kepada masyarakat kelas menengah yang dianggap oleh pemerintah tidak layak menerima subsidi energi, baik listrik maupun BBM,” tuturnya.
Persiapan Formula
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan timnya sudah mengidentifikasi tiga jenis formulasi peralihan subsidi energi, khususnya BBM dan listrik, yang akan diusulkan untuk diterapkan pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Bahlil mengatakan tiga jenis formulasi peralihan subsidi energi itu dihasilkan usai dirinya ditunjuk untuk memimpin tim dalam menentukan formulasi subsidi energi yang tepat sasaran, di mana rapat sudah dilakukan sebanyak 2—3 kali.
Pertama, mengalihkan subsidi energi berbasis kuota atau barang menjadi BLT. Namun, Bahlil tidak menampik formulasi ini bakal membuat rumah sakit, sekolah, gereja, dan masjid tidak lagi mendapatkan subsidi listrik.
Sekadar catatan, PT PLN (Persero) mencatat total pelanggan sampai dengan 2023 sebesar 89,15 juta dengan perincian pelanggan rumah tangga sebanyak 81,55 juta pelanggan atau 91,47% dari total pelanggan, kemudian diikuti pelanggan tarif bisnis sebesar 4,7 juta pelanggan atau sebesar 5,28% dan pelanggan tarif sosial sebesar 1.99 juta atau sebesar 2,24% dari total keseluruhan pelanggan.
Selain itu, formulasi pertama bakal membuat transportasi umum tidak lagi mendapatkan subsidi BBM. Maka, kata Bahlil, timnya membuat formulasi kedua yaitu dengan mempertahankan subsidi berbasis barang atau kuota untuk fasilitas umum untuk menahan inflasi. Selebihnya, subsidinya tetap dialihkan menjadi BLT.
"Alternatif ketiga adalah kita lagi memformulasikan agar sebagian yang disubsidi barang itu bisa dinaikkan angkanya," ujarnya.
Namun, Bahlil mengatakan belum bisa memberikan perincian dengan lengkap karena ketiga formulasi tersebut masih dalam tahap pembahasan dan menunggu untuk dilaporkan ke Presiden Prabowo terlebih dahulu.
Khusus untuk subsidi gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG) 3 kg, Bahlil memastikan tetap akan berbasis komoditas dan tidak dialihkan menjadi BLT. Hal ini dilakukan dengan mendengarkan aspirasi khususnya dari pelaku usaha dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Sekadar catatan, dalam APBN 2025, total volume BBM bersubsidi dialokasikan sebanyak 19,41 juta kiloliter (kl). Perinciannya, minyak tanah sebesar 0,52 juta kl dan minyak solar sejumlah 18,89 juta kl. Sementara itu, untuk LPG 3 kg, pemerintah mengalokasikan volume sebesar 8,2 juta metrik ton.
Bahlil menyatakan penetapan alokasi subsidi ini mengalami penurunan dibanding dengan target tahun sebelumnya sebesar 19,58 juta kl, didorong oleh rencana efisiensi penyaluran BBM bersubsidi pada 2025 agar lebih tepat sasaran.
Pemerintah sendiri telah mengusulkan untuk mempertahankan besaran subsidi untuk solar sebesar Rp1.000 per liter pada tahun 2025. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari kenaikan harga BBM.
Selain BBM dan LPG, pemerintah juga mengalokasikan anggaranRp90,22 triliun untuk subsidi listrik pada 2025 dan naik dari target 2024 sejumlah Rp73,24 T. Angka ini mencakup sisa kurang bayar 2023 sebesar Rp2,02 triliun.
"Kenaikan tersebut didorong oleh perkiraan kenaikan jumlah penerima subsidi listrik dari 40,89 juta pelanggan pada 2024 menjadi 42,08 juta pada 2025," jelasnya.
(wdh)